MARSOBA
Kamis, 21 Februari 2019
MARSOBA: Perempuan Yang Selalu Salah Memilih Warna Lipstik
MARSOBA: Perempuan Yang Selalu Salah Memilih Warna Lipstik: Oleh: Titis W. “Potret perempuan yang selalu salah memilih warna lipstik ketika masuk ke toko ‘make-up’, membuatnya hobi sekali ‘mera...
Rabu, 20 Februari 2019
Perempuan Yang Selalu Salah Memilih Warna Lipstik
Oleh: Titis W.
“Potret
perempuan yang selalu salah memilih warna lipstik ketika masuk ke toko ‘make-up’,
membuatnya hobi sekali ‘merampok’ pewarna bibir milik ibunya sewaktu pulang ke
rumah. Tapi, sayangnya dia belum juga menyerah. Sampai sore tadi, lagi-lagi dia
‘sembrono’ beli lipsbalm dan ternyata hasilnya sama: sebuah kekecewaan. Yap,
sudah bisa ditebak, kegagalan yang kesekian kali ini sejenak membuatnya sejenak
kesal. Namun, dia masih berharap untuk bisa beli lipstik sendiri suatu saat
nanti”
Jena adalah seorang mahasiswa biasa. Sehari-hari
suka sekali makan di warung dengan menu yang biasa: telur atau ayam, paling
mentok bisa makan sate kesukaannya—yang bagi sebagian orang juga sudah biasa.
Suka memakai pakaian yang biasa: kaos oblong dipadu celana jeans dan sendal
gunung. Ya, kadang terpaksa memakai sepatu kets dipadu kemeja jika serasa ada
agenda yang mengharuskan sedikit berpenampilan resmi—itu pun sebenarnya
dianggap banyak orang biasa. Kuliah dengan nilai ipk yang biasa—suka sekali
memilih bangku agak belakang dan berdiam diri berharap tidak kena sasaran
pertanyaan dosen. Berkumpul dengan orang-orang yang suka bergosip dengan
biasa—mulai dari gosip artis, gosip teman-teman yang tidak gabung nongkrong,
atau sok-sok an ngikutin gosip pemilu. Bangun dan tidur dengan waktu biasa—bagi
mahasiswa lama (seperti Jena) pagi adalah pukul 10 am, siang adalah pukul 1
pm atau 2 pm, sore adalah pukul 7 pm dan malam di atas jam 12 pm. Pernah
memiliki kisah percintaan yang biasa—pacaran cukup lama dan serius, tapi putus
karena hal sepele. Benar-benar tidak ada yang telalu menonjol dari dirinya
kecuali mood yang sering naik turun
dan banyaknya kegagalan demi kegagalan yang ia lakukan, seperti kejengkelannya
memilih warna lipstik!
“Aku baru beli lipgloss,” kata Jena pamer kepada salah seorang temannya yang
belum kelar meloloskan aliran es goodday dari
kerongkongannya.
“Tara...” tambah Jena lagi. Sebuah
benda berbentuk tabung kecil dan panjang ia keluarkan dari dalam tote bag.
“Itu lipgloss apa lipbalm?,”
tanya temannya tadi.
Kerutan wajah Jena yang melebar di
kedua sudut bibir nampak berubah datar.
“Yah.. apa iya ya?.” Cepat-cepat Jena
periksa benda yang belum sampai ia lepas bungkusnya itu.
“Yah.. iya, salah...” Lagi-lagi raut
mukanya cepat berubah menjadi kesal.
“Coba lihat!,” sahut temannya sambil
ketawa.
Tidak sampai disitu,
kekesalan Jena bertambah ketika mulai mencoba lipbalm itu di bibirnya. Bukan tambah manis, justru persis seperti
habis kena pukul. Merah lebam. Begitu cepat-cepat ia mengambil tissue di meja dan mengelapnya.
Benar-benar kesal.
“Aku sih nggak suka pake lipgloss atau model lipbalm kayak gini. Kayak susah buat
gerak bibirnya, apalagi ntar bisa bikin bibir cepet kering,” ucap temannya yang
juga sempat mengoles benda itu di bibir dan lantas menghapusnya pula.
“Aku sebenernya juga nggak suka yang
kinclong gini. Soalnya biasanya kalo beli lipstik,
pasti salah warna. Ya udah, tadi aku mampir ke Indomaret, iseng beli ini. Ku pikir paling aman karena paling umum
dipake cewek-cewek. Eh, tetep aja salah ternyata..,” timpal Jena.
Bukan cuma sekali.
Kejadian salah memilih warna lipstik
sudah Jena alami berkali-kali. Bahkan kalau diruntut, sekalipun dia belum
pernah berhasil membeli benda pewarna bibir yang digemari semua cewek dan jadi
pesona tambahan bagi mata lelaki itu dengan benar. Itu yang akhirnya membuat Jena kesal. Karenanya
dia seringkali meminta beberapa lipstik
koleksi ibunya ketika pulang ke rumah. Lipstik-lipstik
itu yang sering dipakai Jena. Menurutnya, warna-warna yang dipilih ibunya
selalu cocok untuk sedikit menaikkan pesona Jena yang biasa-biasa saja. Hanya
saja, sudah lama sekali ia belum pulang ke rumah. Sedangkan di sini, ia cukup
susah mencari merk lipstik yang sama
dengan koleksi ibunya. Bahkah tidak jarang, ketika masuk ke toko make up, Jena menjadi benar-benar
bingung. Di sini—di tempat ia merantau,
segala sesuatu tampak begitu serba ada dan mewah. Tidak terkecuali dengan toko make up. Pintunya yang terbuat dari
kaca, sudah cukup memanjakan mata dari luar toko. Belum lagi ketika masuk ke
dalam, wah... benar-benar menakjubkan! Dari sisi mana pun, Jena merasa terkesan
dan nyaman berada di dalam benda magis itu. Ya, benda magis! Bagaimana tidak
magis? Setahu Jena, toko make up
adalah salah satu surganya para perempuan. Kebun aneka tumbuhan ajaib yang nantinya
bisa dimasak di dapur. Lalu disajikan untuk dimakan sendiri atau bersama teman
teman-teman lainnya. Aroma yang khas dengan parfum-parfum, lantai dan dinding
yang serba bersih, kaca-kaca yang besar, lampu yang menyala terang, aneka
pilihan merk dan harga, pelayan yang ramah, apalagi jika ada diskon
besar-besaran! Benar-benar seperti benda magis yang menarik semua perempuan untuk mengerumuni tempat semacam ini.
“Eh, besok belanja make up yuk! Bedakku abis, handbody juga,” ajak salah seorang teman
Jena suatu waktu.
“Yah, lagi nggak punya duit,” kata
Jena.
“Yaelah, lihat-lihat aja dulu sambil
nemanin aku. Siapa tahu ada diskonankan?,” pinta temannya.
“Em.. oke deh, boleh.”
Begitu seringkali obrolan
yang berujung pada pembelian benda-benda yang pada akhirnya membuat Jena
menyesal sesaat, termasuk lipstik.
Sekali, dua kali, tiga, empat... dan belum pernah ada yang berakhir
menyenangkan. Terkadang ia tergiur karena diskon yang besar, terkadang ia
tergiur karena produknya branded,
terkadang ia tergiur karena lampu toko yang terlampau terang dan membuat rupa yang
bagus saat mencoba di tempat, terkadang ia benar-benar butuh tapi tidak sempat
mencoba karena terburu-buru, terkadang ia iseng dan aji mumpung dalam memilih
produk, dan lebih sering ia tergiur karena promosi dari temannya yang lebih
dulu menggunakan produk itu...
“Eh itu lipstikmu merk apa deh?,” tanya Jena suatu ketika saat nongkrong
bareng temannya.
“Kenapa? Baguskan?,” kata temannya
sambil senyum-senyum.
“Iya. Itu nomor berapa?,”
“Kalau mau beli, kamu buka aja deh ig-nya. Itu barang-barang impor kok dan
bermerk, tapi murah. Aku baru banget follow
kemaren. Terus aku beli ini.”
Sesegera mungkin Jena
membuka ig dan membeli produk yang
persis dengan teman Jena beli. Beberapa hari setelahnya, datanglah lipstik itu. Jena begitu gembira.
Cepat-cepat ia membuka kardus kecil dengan packing
bercover kertas kado bunga-bunga pink
cukup rapi. Tanpa menunggu aba-aba, ia oleskan lipstik itu sambil berkaca. Setelah serasa cukup memenuhi bibir,
Jena sekali lagi berkaca memastikan tidak belepotan dan segera pergi ke warung
biasa tempat ia makan sambil bergosip dengan teman-temannya.
“Eh, kok bibirmu jadi aneh gitu si!,”
kata salah seorang teman tepat saat Jena duduk.
“Iya ih, nggak kayak biasanya. Aneh
tau warna lipstiknya. Nggak cocok.
Nggak kamu banget!,” tambah yang lain.
“Lah, ini kan sama kayak yang kamu
beli kemaren. Nomornya juga sama kok,” sergah Jena.
“Masa? Tapi nggak cocok ya ternyata di
kamu,” komen temannya.
Semenjak itu, Jena semakin
sebal jika lipstik yang ia bawa dari
rumah habis. Karena ia menjadi benar-benar pusing mencari warna yang cocok
untuk bibirnya. Apalagi, jika teman-temannya sudah berkomentar yang aneh-aneh.
Benar-benar membuat Jena tidak percaya diri. Tak jarang ia berkali-kali meraih
kaca sebelum keluar kamar, lagi-lagi hanya untuk memastikan apakah ada
penampilannya yang kurang pas? Atau berlebihankah warna lipstik yang ia pakai? Atau justru bagian mana yang kurang supaya
tidak menjadi pusat perhatian karena aneh? Begitu ia yakinkan lagi dan lagi
sampai merasa mantap dan tidak ada yang kurang.
Jena adalah seorang
mahasiswa biasa. Bulan kedelapan tahun ini, ia tepat tujuh tahun kuliah. Itu
berarti, sudah hampir tujuh tahun pula Jena tanpa sadar hanya menjadi mahasiswa
biasa dengan keseharian yang biasa-biasa saja pula. Makan dengan menu biasa,
berpakaian biasa, nongkrong dengan teman-teman sambil menggosip dengan biasa,
bangun dan tidur dengan jam yang biasa, kuliah dengan biasa, dan mengerumuni
toko make up dengan biasa. Hanya saja
masih tidak bisa memilih warna lipstik yang
tepat untuk bibirnya. Ujung-ujungnya lipstik-lipstik
itu tergeletak di kotak make up sampai
tanggal kadaluarsanya terlewat. Padahal, Jena hanya berusaha menjadi sama
dengan yang lainnya biar tidak dianggap berbeda saja. Tapi ternyata tidak semudah yang dipikirkan
olehnya. Upayanya yang berkali-kali gagal, membuat Jena menjadi jengkel
sendiri, lalu mencoba lagi dan lagi, lagi dan lagi. Begitu terus tanpa
terputus, kecuali ia memakai lipstik dari
ibunya.
Jena adalah seorang
perempuan biasa. Di bulan kelima tahun ini ia berusia seperempat abad. Di
usia yang kata orang cukup matang itu ada kabar baik tentang Jena. Kabarnya,
karena moodnya yang cepat berubah,
sekarang ini Jena sudah tidak sejengkel kemaren atau tadi sore. Jena hanya
memikirkan dua hal: pertama, bulan kelima tahun ini ia harus sudah sah menjadi
sarjana. Kedua, ia tetap berharap bisa memilih warna lipstik yang cocok untuk bibirnya suatu saat nanti.
Semarang,
21/02/2019
02.38
WIB
Jumat, 21 September 2018
SURAT UNTUKNYA....
Minggu-minggu ini begitu penat.
Banyak sekali rencana-rencana yang hilir mudik
saling mengantre di kepala.
Sementara, deadline-deadline
panjang jelas terpampang dengan tulisan tebal berstabilo merah menyala.
Selasa, 4 September 2018.
23.34 WIB.
Sebuah pesan menyusup lewat aplikasi bernama Whatsapp.
“Ibu
di opname!”
Serentak, semua yang awalnya hilir-mudik dengan
rapih menjadi kalang kabut berlarian, di kepala.
Kopiku masih setengah gelas kala itu. Sudah tidak
terlalu hangat, memang. Ternyata dinginnya malam itu, semakin menambah
kekacauan yang membabi buta tanpa jaket.
Semua kedinginan, malah-malah hampir beku.
Berlarian-lalu membeku. Tidak ada gerakan yang tadinya gencar. Kaku. Mati
beberapa detik. Tidak tenang juga. Dingin...
Sampai pada akhirnya, ku pesan kembali segelas kopi
panas kepada penjual.
Sebagai tuan rumah rencana-rencana di kepala,
akhirnya ku putuskan menyeruput pelan kopi panas supaya semua mencair perlahan.
Mencair, pelan-pelan membanjiri sela-sela tulang tengkorak, daging, darah,
kulit...
Eits! Yang mau menyusup
lewat bola mata, jangan diam-diam! Karena kau masih pula ketahuan!
Nakal juga yang mau
menerobos lewat bola mata, pikirku. Mereka pikir akan ku loloskan begitu saja?
Enak betul!
STOP!
Lewat yang lain saja!
Rute yang ini sudah ditutup dari beberapa waktu yang lalu!
Karena “rawan longsor!”
Jangan coba-coba
menyuap saya! Percuma! Saya sudah kebal suap!
Digertak sedikit saja,
mereka sudah luluh. Dasar pemberontak kecil! Mau menentang tuan rumah? Ya jelas
tidak bisa!
Wong
saya yang punya rumah!
Rabu, 5 September 2018
01.24 WIB
Aku memutuskan untuk kembali kos an barang sebentar.
Packing.
Seorang teman yang masih asik melirik gawainya masih
tidak sadar terhadap kekacauan yang terjadi di dalam lalu lintas tubuhku. Aku
hanya berpesan,
“
titip barang-barang sebentar. Aku mau ke
kos an. Nanti ke sini lagi.”
Barangkali hanya butuh
10 menit, aku kembali duduk dan melanjutkan menunggu teman lain yang sudah
sedari sore janjian untuk ketemu. Tentunya demi aliran lalu lintas di kepala
yang lebih lancar. Ya, supaya tidak semakin macet dan lebih parah mengklakson
pengantre yang lain. Bising! Aku tidak suka kebisingan.
01.49 WIB
Datanglah teman lain yang pulang dari rutinitas
hariannya. Karena lapar, atau karena butuh hiburan, ia duduk di meja kami
lantas menyapa basa-basi.
“Mau ke mana?”
“Pulang”
“Ibu
sakit?”
“Opname”
Tet-tret-tet-tet-teeeeeeeet...................
Tiba-tiba seperti ada musik penyela pengganti
suasana yang biasanya hadir di beberapa part
film. Sedetik kemudian kami bertiga seperti sama-sama saling menata hidangan di
meja makan. Terdiam, sambil menggeser-geser
piring-mangkuk-gelas-sendok-garpu-serbet-tissue-saos-kecap,
dan sesekali mencicipi hidangan. Memastikan menu hari ini tidak beracun dan
laik dimakan.
Pelan-pelan ku deskripsikan ulang barang sedikit
kekacauan di kepala. Apalagi setelah teman yang ku nanti kehadirannya datang
juga beberapa waktu setelahnya.
Tentu saja, tidak ada kepala yang siap menerima
kabar buruk tentang apapun itu. Dan sialnya, karena kepala selalu diselimuti
udara, maka ia akan dengan mudah menerima pesan sesuka angin berhembus.
Sedangkan pesan-pesan lain saja masih bertumpuk
belum tersampaikan. Untung saja, jika mau menata pelan-pelan dan hati-hati,
mungkin akan lebih enak jika sudah diatur kepada siapa harus di kirim, hari apa
harus mengirim, apa alamat si tuan rumah berikutnya, dan jangan lupa sertakan
amplop yang rapat. Malam ini dingin sekali!
Aku pulang.
07.14 WIB
WIJAYAKUSUMA
1, NO 2.
Aku sampai di rumah sakit.
Ibu sudah bangun. Mungkin tadi pagi ia tidak terlalu
nyenyak. Beberapa kali di perjalanan, beliau mengirim pesan. Masih saja
khawatir kepada ku. Heran juga. Tidak cukupkah biar aku saja yang khawatir?
Jangan yang lain. Apalagi ibu...
Tidak tidur sehari bukanlah sesuatu yang terjadi
satu-dua kali. Jadi aku rasa, tidak akan menjadi kondisi yang menyusahkan. Tapi
ternyata, mungkin kali ini pengecualian. Saat ini tidak hanya kepalaku yang
kacau, tapi badanku pula. Ah, brengsek!
Namun, kekacauan kondisi ibu, menjadi pisau yang
lebih tajam dibandingkan dengan carut-marut yang ku rasakan saat itu.
Aku pikir, aku tidak
boleh tumbang. Tidak ada rasa kasihan yang pantas dicurahkan oleh siapapun,
jika aku tumbang kali ini. Justru akan lebih kacau lagi. Bising. Aku tidak suka
kebisingan!
Berhari-hari aku di rumah sakit. Tidur jika
mengantuk. Bangun karena khawatir, barangkali ibu ingin kencing-buang air
besar-mandi-lapar-mengganti cairan infus-atau mengobrol dengan dokter setelah
dikontrol tiap paginya.
Memang tidak senyeyak yang ku bayangkan. Tidak
setenang yang ku harapkan. Tapi, aku cukup senang menunggu ibu di rumah sakit. Aku
menemui banyak hal karenanya. Masa kecil, aroma kencing ibu, dan letupan kecil
di toilet.*
*Di pos sebelumnya
Sabtu, 8 September 2018
13.05 WIB
Bapak datang.
Beliau datang dari perjalanan rute
Madura-Surabaya-Pati.
Sebenarnya, kapal ikan yang dinahkodai beliau belum
waktunya pulang. Seorang diri ia ijin kepada awak kapal untuk pulang sebentar.
Mungkin, kepalanya menyerap kabar yang disampaikan oleh angin.
Sial! Lagi-lagi karena kepala selalu diselimuti
udara. Maka angin dengan sesukanya mengabarkan segala yang ia ketahui.
Ku belikan nasi bungkus
di dekat area rumah sakit untuk sarapan Bapak, yang dari dua hari dua malam perjalanan
perutnya sama sekali belum terisi benda apapun. Matanya masih terjaga melihat
setiap carut-marut kota menuju carut marut pedesaan yang sama kacaunya. Merekam
setiap lalu lalang manusia, mengopi lamat-lamat wajah-wajah baru secara tak
sengaja. Sedang aku yakin, lalu lintas di kepalanya justru lebih bebal dan
nakal! Berisi pemberontak-pemberontak licik-pembawa laras panjang bersusulan.
Mengkoyak-koyak garang!
21.34 WIB
Sudah dua kali Bapak muntah dan berak darah di kamar
mandi. Beberapa kali tergoler lemas di atas tikar, setelah kembali. Mencoba
sesekali terlelap, tapi selalu digagalkan oleh mual dan sakit perut.
Akhirnya ku bawa ia ke IGD, setelah bertanya kepada
perawat tentang dokter jaga yang bisa memeriksa beliau.
Setelah ditanya-tanya, dan aku wara-wiri ke
administrasi untuk menyerahkan ktp, dokter menyarankan untuk diopname!
Brengsek! Tambah lagi kekacauan melintas sampai
ubun-ubun. Tidak cukupkah yang sudah-sudah? Pikirku. Ah, ya sudah. Aku duduk
sebentar. Mencari rute lain, sebentar. Tidak ada. Bapak sudah memakai selang
infus di tangannya, tapi tubuhnya masih lemas. Ku gali pelan-pelan tanah lain,
membuat rute alternatif baru.
Akhirnya, ku putuskan meminta ruangan yang tidak
jauh dengan kamar ibu.
WIJAYAKUSUMA
1, NO 10.
22. 44 WIB
Bapak sudah di ruangannya. Aku tahu, beliau kecewa
karena harus dipaksa opname oleh kondisi badannya. Sebenarnya aku juga tak
kalah jengkel, tapi tidak ada rute lain yang bisa dilalui selain itu. Semua
macet! Kebanjiran! Longsor!
Aku kembali ke kamar ibu. Beliau belum tidur.
Semakin penasaran, bagaimana kondisi bapak. Dalam beberapa menit, aku masih
belum bisa cerita. Ibu sakit Jantung.
Aku bingung sekali. Bukan masalah bagaimana nantinya
aku menjaga mereka berdua, tapi bagaimana caranya memberitahu kepada ibu.
Beberapa kali aku
keluar ruangan. Gusar. Lalu kuputuskan untuk menghubungi saudara di rumah.
Meminta bantuan kepada mereka. Maka, kuputuskan untuk berterus terang kepada
ibu setelahnya. Karena setelah ku pikir-pikir, tidak ada gunanya menutup-nutupi
kenyataan. Hanya akan menyimpan luka yang lebih dalam. Dalam kasus ini, tentu
tidak bisa membohongi kondisi Bapak yang juga butuh pertolongan segera dan
tidak secepat yang dibayangkan. Tentu, supaya ibu juga segera bisa tidur.
23.12 WIB
Aku menghubungi beberapa teman. Bukan, bukan untuk
meminta pertolongan perihal yang terjadi padaku saat itu. Aku menghubungi
mereka untuk meminta pertolongan perihal pesan lain.
Rencananya, kami—guyub rukun TBRS—memang sudah
merancang agenda untuk menyambut tahun baru Sura—dalam kalender Jawa, di TBRS
pada tanggal 9-10 September ini. Sebagai salah satu orang yang terlibat,
dicampur dengan kekacauan yang tak terduga, akhirnya ku putuskan untuk blokosuta pamit dan sedikit mengabarkan
kondisi yang tidak memungkinkan ini. Tentu saja, memohon bantuan atas kekacauan
lain yang harus ku tinggalkan, apalagi yang berhubungan dengan jobdesk.
Perlu beberapa saat untuk memikir kata-kata yang tepat.
Jujur, aku tidak pernah suka meninggalkan tanggung jawab yang belum usai kepada
orang lain. Itu bukan tipe ku. Sehancur apapun kondisinya. Sayang, lagi-lagi
ini adalah pengecualian. Karena telah jelas, aku adalah anak dari kedua orang
tua yang sejauh ini selalu bertanggung jawab terhadap kondisi apapun yang ku
alami. Maka tidak laiklah ketika ku lepaskan tanggung jawab yang satu ini.
Apapun kondisinya. Apapun resikonya.
Setelah pesan terkirim, aku yakin, dengan terpaksa
mereka mengerti dan merelakan ketidakbisaan dan kelancangan ku mundur dari
agenda ini. Tapi, aku juga tak kalah yakin, dengan penuh keikhlasan mereka
seraya menyematkan doa-doa baik bagi kesembuhan kedua orang tua ku setelahnya.
Terima kasih.
Begitu kekacauan pelan-pelan ku tertibkan. Sial, aku
lupa. Aku sangat membenci negara. Tapi ternyata setiap waktu aku menjadi negara
bagi diri ku sendiri.
Dan kekacauan tidak pernah datang sekali saja. Membuatku
menjadi negara terhadap diri ku. Beberapa hari setelah kembali ke Semarang, aku
mencari-cari banyak hal, lebih tepatnya mencari penghibur dan hiburan. Sayang,
ternyata kemanapun tempat diriku berlari, tidak pernah ada ruang untuk
pelarian. Mungkin sesaat ada. Tapi setelah benar-benar disadari, itu hanya
ilusi semata.
Bahkan sampai sekarang, meskipun hanya ilusi, aku
masih sibuk mencari ilusi apalagi yang akan ku gunakan. Ilusi seperti apa yang
pantas dijejaki tanpa mengandung unsur kasihan. Aku tidak suka dikasihani!
Padahal, kekacauan tidak pernah berdiam diri. Ia beranak pinak. Dan waktu adalah satuan vonis paling hakiki. Aku cukup tahu itu, aku cukup sadar. Tapi seperti ingin keluar sebentar. Sebentar saja.....
Padahal, kekacauan tidak pernah berdiam diri. Ia beranak pinak. Dan waktu adalah satuan vonis paling hakiki. Aku cukup tahu itu, aku cukup sadar. Tapi seperti ingin keluar sebentar. Sebentar saja.....
Biar sesekali aku tidak menjadi negara untuk diriku
sendiri.
Semarang, 20 September 2018
“Berjumpa Masa Kecil, Aroma Kencing Ibu dan Letupan Tak Tertahan di Toilet.”
.......
Aku menggendong Ibu,
seperti inikah dulu ia menggendongku?
Aku memapah Ibu ke
kamar mandi, seperti inikah dulu ia memandikanku-menemaniku kencing-bahkan
berak?
Aku harus sigap ketika Ibu tiba-tiba terbangun-kedinginan-lemas-terbatuk-atau kesakitan. Seperti
inikah dulu rewelnya aku dalam segala kondisi?
Tidak.
Aku yakin tidak.
Tidak seenteng ini.
Tidak hanya sebatas
ini.
Lebih. Ku yakin lebih
berat. Tak terhitung. Tak mampu ditandingi. Tak bisa dibayar dengan perilaku yang
hampir sama sekalipun.
Setidaknya, telah ku
temui masa kecilku dengan Ibu
........
Obat Ibu banyak sekali.
Cairan infusnya berwarna putih-lalu setengah hari kemudian diganti kuning.
Sehari sekali, di lubang injeksinya, disuntikkan lagi beberapa zat lain supaya
langsung mengalir ke pembuluh darahnya.
Setiap kali selesai
menenggak beberapa pil dan mendapat suntikan itu, tak perlu menunggu lama,
beberapa saat kemudian, reaksinya sudah terlihat.
Perut Ibu seperti dicuci-remas, katanya. Efeknya, ia seringkali ingin kencing dan berak.
Sementara, untuk
tiduran saja ia membutuhkan selang oksigen.
Apalagi harus
naik-turun dari ranjang setinggi itu. Harus jalan perlahan ke kamar mandi, dan
mengulangi rutinitas itu berkali-kali.
Hampir tidak terhitung,
dan sesekali Ibu terhuyung karena kelelahan.
Dan karena itu pula,
aroma kamar mandi menjadi aroma khas kencing Ibu yang tak hanya pesing. Tetapi
juga aroma semangat ibu lewat segala obat-obatan yang dicernanya dan meluruhkan
segala penyakit demi kesembuhannya.
.......
Ini belum Tahun Baru,
Hari Raya pun telah usai.
Tidak ada letupan yg
patut untuk dinyalakan dan ditunggu-tunggu kehadirannya.
Begitupun dengan
letupan yg satu ini. Yang entah sejak kapan berada disitu. Yang entah sejak
kapan mulai membesar dan terus membesar.
Yang entah sejak kapan,
mencoba untuk selalu ditekan dan terus ditekan.
Supaya tidak meletup
sembarangan.
Yang entah sejak kapan,
tempatnya tidak pernah pindah. Selalu ada di dada-kepala-dan bola mata.
Ia meletup.
Meletup-letup keranjingan. Seperti dada-kepala-dan bola mata yang sudah sejak
lama menanti gerakan kompak semacam kudeta.
Ia meletup.
Dalam-dalam. Semakin dalam. Di kamar mandi. Di toilet. Bercampur dengan aroma
kencing Ibu. Ikut serta mengunjungi masa kecilku.
.......
Pati, 6’9’18
Cepatlah sehat, Bu
Rabu, 21 Maret 2018
#1
“Kau pernah berpikir untuk bunuh diri?”
“Sering”
“Mengapa?”
“Entahlah, terlalu rumit. Sampai-sampai aku tak tahu harus bagaimana menjelaskannya”
“Lalu?”
“Tak terjadi apa-apa”
“Tak terjadi apa-apa? Tidak jadi bunuh diri?”
“Tidak”
“Mengapa?”
“Sama halnya dengan alasan ‘kenapa aku seringkali ingin bunuh diri.’ Pun ketika berusaha untuk mencobanya, entah mengapa menjadi lebih rumit. Sungguh hal itu pun terlampau susah untuk ku jelaskan”
“Takut?”
“Mungkin”
“Terhadap kematian?”
“Tidak sama sekali. Untuk apa manakuti sesuatu yang memang harus terjadi pula nantinya?”
“Lalu?”
“Mungkin, singkatnya...... karena aku adalah manusia”
Ia mengernyit, seolah tidak puas dengan jawabanku. Lalu dengan ragu ku lanjutkan. Karena tatapan matanya yang kian lekat, seperti memaksa kata-kata lanjutan lain sambil mengulang kembali jawabanku dengan panambahan tanda tanya di dalam kepalanya.
“Ya, kau tahu bukan jika manusia pada umumnya hadir bukan karena sekonyong-konyong ingin hadir. Namun dihadirkan. Lalu di tempatkan di sebuah ruangan sangat hangat yang disebut dengan rahim dan lahirlah kita semua. Ikatan-ikatan seperti itu yang susah dijelaskan. Dan ketika semakin bertumbuh, maka seseorang akan memiliki lebih banyak ikatan dengan manusia lainnya yang benar-benar rumit dan kompleks. Semakin banyak maka akan semakin kusut dan susah diurai. Bagiku, ikatan-ikatan itulah yang kadang kala bisa jadi memperkuat seseorang berada di dunia, atau justru sebaliknya. Menekan, mendesak, memeluk terlalu kuat sampai-sampai benar-benar dilenyapkan oleh kekuatannya. Semacam itu”
“Oh... Seberapa sering kau merasakannya?”
“Setiap hari. Aku rasa, mungkin semenjak jantungku pertama kali berdetak di dunia”
“Tapi buktinya, sekarang kau masih baik-baik saja. Duduk di sini. Menikmati segelas Green Tea Ice Blend dan dua potong Egg Bowl?”
“Ya, begitulah. Seperti yang telah ku katakan kepadamu, ikatan-ikatan itu terlampau rumit untuk diurai dan ditata. Maka segala hal tak mampu ditebak begitu saja. Tinggal bagaimana ketika hal itu terjadi, tiba-tiba saja Tuhan datang melalui ikatan-ikatan yang telah ku sebutkan tadi. Sebagai penyelamat. Mereka menyebutnya ‘Deus Ex Machina’ dalam beberapa contoh kasus karya sastra”
“Wow, lalu jika hal itu terjadi, apakah kau benar-benar menjadi lebih baik?”
Tanyanya lebih bersemangat. Mukanya berseri-seri dan matanya yang jernih membulat. Menampakkan betapa antusiasnya ia kali ini. Sambil merapatkan tubuh ke meja, gadis yang mungkin sebayaku itu, mengubah posisi tangan yang awalnya menopang dagu dengan kuat dan kini diletakknya kedua tangan itu bersedakap di atas meja. Punggungnya yang tadinya membungkuk, kini lebih tegak dan agak dicondongkan ke depan. Persis seperti gadis kecil yang menunggu lanjutan kisah dongeng dari guru Tknya.
“Tidak juga. Tidak sama sekali”
“Masih ingin bunuh diri?”
“Tentu”
“Mengapa?”
“Karena ternyata, para penyelamat itu bukan benar-benar penyelamat. Sesungguhnya, bagiku segala sesuatu yang datang tiba-tiba akan pergi dengan tiba-tiba pula. Begitupun mereka. Seperti seseorang yang mengajak kita kencan. Datang ke rumah, mengajak berjalan-jalan sebentar mengitari kota, menonton bioskop, ngobrol, makan es krim dan ketika malam mulai larut ia harus mengantarkan kita untuk kembali ke rumah. Ke tempat semula. Akan sangat berbeda jika hal itu dituliskan dalam kisah-kisah karya sastra misalnya. Disana mereka benar-benar bertindak sebagai penyelamat. Memberikan solusi seenaknya untuk menyelamatkan segala kekisruhan yang hadir dan habislah cerita”
“Mengapa begitu?”
“Ya... Karena pada kenyataannya mereka datang dari ikatan-ikatan itu. Ikatan yang akan terus berotasi mengitari kita. Persis seperti perputaran bulan mengelilingi bumi yang telah memiliki jalurnya sendiri. Akan seperti itu terus menerus. Sampai pada akhirnya nanti ia benar-benar tak punya kuasa untuk berputar atau ketika tak ada yang diputarinya lagi, barulah mereka berhenti”
“Hii..! Sungguh mengerikan. Aku yang hanya mendengarnya saja sudah ketakutan”
“Ya, memang”
“Ah, tapi tak apa. Setidaknya, ketika para penyelamat itu datang kau menjadi baikkan barang sebentarkan?”
“Mungkin kelihatannya seperti itu. Namun justru hal itu semakin memperburuk”
“Kenapa bisa?”
“Tentu saja! Jika kau lapar sementara kau hanya memiliki rokok dan tak ada uang sepeserpun di kantong celana saat itu, maka kau akan berhasil mengusirnya untuk beberapa saat saja. Setelahnya kau akan tetap merasakan lapar lagi, lagi dan lagi. Bahkan bagian terburuknya justru asam lambungmu naik lebih tinggi tanpa ampun”
“Rumit ya?”
“Seperti kataku diawal tadi”
“Berarti, kau tidak butuh penyelamat. Kau butuh seorang dokter. Em, maksudku seseorang yang benar-benar dokter”
Kali ini ku balas tatapan matanya sedikit lebih dalam. Dari bola mata itu, aku menangkap bahwa kalimat yang baru saja ia lontarkan bukanlah serangkaian tanggapan basa-basi. Seperti sebuah kepedulian atau bisa saja dianggap sebagai ungkapan kasihan. Tapi terlihat benar-benar tulus dan jujur.
Namun, hanya bertahan sekitar lima detik segera ku palingkan wajah ke arah jalan raya. Begitu banyak kendaraan lalu lalang. Motor, mobil, angkot yang seolah-olah ingin berkejaran dengan laju hujan. Teriakan tukang tambal ban yang menanyai penjaga toko kelontong sebelah lapaknya, suara knalpot motor rx-king yang terus menerus diderukan karena tiba-tiba mesinnya macet di jalan, serta semua bebunyian lain termasuk lagu ‘Havana’nya Camilia Cabello disusul beberapa lagu Banda Neira seperti ‘Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti’ serta suara-suara para pengunjung bercampur aduk menjadi sebuah dunia luar yang betul-betul dingin. Membuatku lebih memilih merasakan angin yang bertiup dari Utara menembus pori-pori kaos tipisku dan menyentuh kulitku bersamaan. Sementara, bau tanah basah tidak lagi tercium karena ini adalah hujan yang jatuh kesekian kali dan melunturkan bebauan khas itu tanpa sisa sedikitpun.
Ku tenggelamkan pandanganku lebih dalam. Bukan untuk mengamati hal-hal yang lain lagi. Tidak ada yang menarik satupun. Bahkan sebenarnya sedari tadi aku hanya melihat, tidak benar-benar berminat untuk mengamati apapun yang telah tertangkap oleh segala inderaku. Atau justru tak mampu menangkap lebih cermat. Seolah dihalangi oleh entah apa yang bergelombang dan menggema terus menerus sedari tadi. Menyamarkan segala yang ada disekitar. Dan sangat sedikit yang terserap lalu masuk ke otakku untuk dideskripsikan. Sisanya, hanyalah pandangan kosong yang dipenuhi oleh gelombang tanpa ujung pangkal, menari-nari riang namun dengan ekspresi yang menakutkan. Sekuat apapun ku coba menenggelamkan pandangan, justru semakin kuat pula aku tenggelam oleh gelombang yang entah sejak kapan berada di situ.
“Mohon maaf Kak, apa mau memesan lagi?”
Seorang waitress tiba-tiba mendatangi mejaku. Aku yang tersadar namun tidak sepenuhnya terkejut akan kehadirannya, spontan menjawab, Tidak. Lalu ia tersenyum kecil dan nampak sedikit enggan menjauh namun pada akhirnya pergi juga dengan langkah agak malas.
Setelah melepaskan padangan dari waitress yang kini punggungnya benar-benar ditelan oleh lekukan dinding pemisah ruangan cafe, aku baru tersadar. Bahwa seorang gadis yang tadinya dihadapanku, yang ku kira mungkin ia sebaya denganku itu juga menghilang. Cukup mengejutkan. Tapi tak lantas membuatku gusar untuk mencari. Karena hal seperti itu sudah sering terjadi. Saking seringnya, sampai-sampai menjadi biasa saja. Hanya meski biasa terjadi, disuatu waktu aku merasa tidak enak hati. Kalau-kalau mereka yang selama ini datang-pergi-kembali lagi-dan atau benar-benar pergi adalah dikarenakan oleh sikapku? Sikapku yang seketika tidak membuat nyaman mereka ketika berada di dekatku. Seperti seolah-olah merasa diabaikan. Persis seperti sekarang ini. Ah, sungguh, aku benar-benar tidak enak hati jika memang benar seperti itu adanya. Aku sama sekali tidak menyukainya. Ya, aku tidak suka membuat seseorang kecewa karena sikapku. Oleh karenanya, sampai sekarang aku masih terus berusaha untuk menjaga hati orang lain. Tidak ingin membuat siapapun kecewa. Namun, jangan salah paham. Meskipun begitu, bukan berarti aku adalah seorang gadis yang paling baik hati sedunia. Bukan. Karena sesungguhnya pekerjaan untuk menjaga hati orang lain adalah pekerjaan yang berat dan memuakkan. Bayangkan saja, menjelma menjadi seseorang yang memiliki hati bak malaikat dan selalu mengusahakan pertolongan kepada orang lain tanpa membuatnya kecewa. Bagaimana bisa? Bukankah orang bukanlah Tuhan? Jika dipikir-pikir aku sendiri sering merasa jijik dan kesal setiap kali mengingat untuk menawarkan atau sengaja dimintai tolong terhadap segala sesuatu padahal sebenarnya diri sendiri butuh bantuan. Dan entah mengapa terlalu sering aku meng’iya’kan. Atau ketika harus bersikap seperti gadis manis dengan air muka yang bersemangat ketika terlibat di sebuah perbincangan yang sebenarnya tidak ingin diikuti sama sekali. Entah apapun alasannya. Tidak bisa mengikuti-tidak cocok dengan pembahasan-tidak sepakat dengan opini dari pembahas lainnya atau alasan lain. Tapi toh ujung-ujungnya bertahan dengan tatapan mata konstan ke arah lawan bicara supaya tidak dianggap menyepelekan dengan sedikit bumbu senyuman kecil sepanjang perbincangan. Ah, benar-benar memuakkan!. Namun anehnya tak pernah bisa untuk tidak melakukan hal itu. Entahlah, begitu banyak kerumitan yang saling tumpang tindih dan saling terhubung.
Dan efeknya membuatku sering kali ingin sendirian. Benar-benar sendiri. Tanpa diganggu oleh siapapun, tanpa ditemani oleh siapapun. Berpikir tentang diri sendiri, mengerjakan apapun yang ku suka, menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan diri sendiri pula. Tidak ada tentang tubuh lain, tidak ada tentang senyuman atau tangisan untuk tubuh lain, tidak ada kepedulian yang pantas dicurahkan kepada tubuh lain. Kalaupun ada, maka yang ku ijinkan adalah perhatian semata tentang diriku. Hanya aku. Seperti halnya gadis bermata indah tadi. Yang kedatangannya entah dari kapan, akupun tidak sadar betul. Dan kepergiannya yang juga tanpa ku sadari. Bahkan aku juga lupa perbincangan kami dibuka dengan pembahasan macam apa, sampai pada akhirnya membicarakan tentang keinginanku untuk bunuh diri. Yang ku ingat, aku telah duduk berjam-jam dari sebelum matahari benar-benar tenggelam di meja cafe nomor 12 sampai hujan menelan separuh malam. Seorang diri.
“Sering”
“Mengapa?”
“Entahlah, terlalu rumit. Sampai-sampai aku tak tahu harus bagaimana menjelaskannya”
“Lalu?”
“Tak terjadi apa-apa”
“Tak terjadi apa-apa? Tidak jadi bunuh diri?”
“Tidak”
“Mengapa?”
“Sama halnya dengan alasan ‘kenapa aku seringkali ingin bunuh diri.’ Pun ketika berusaha untuk mencobanya, entah mengapa menjadi lebih rumit. Sungguh hal itu pun terlampau susah untuk ku jelaskan”
“Takut?”
“Mungkin”
“Terhadap kematian?”
“Tidak sama sekali. Untuk apa manakuti sesuatu yang memang harus terjadi pula nantinya?”
“Lalu?”
“Mungkin, singkatnya...... karena aku adalah manusia”
Ia mengernyit, seolah tidak puas dengan jawabanku. Lalu dengan ragu ku lanjutkan. Karena tatapan matanya yang kian lekat, seperti memaksa kata-kata lanjutan lain sambil mengulang kembali jawabanku dengan panambahan tanda tanya di dalam kepalanya.
“Ya, kau tahu bukan jika manusia pada umumnya hadir bukan karena sekonyong-konyong ingin hadir. Namun dihadirkan. Lalu di tempatkan di sebuah ruangan sangat hangat yang disebut dengan rahim dan lahirlah kita semua. Ikatan-ikatan seperti itu yang susah dijelaskan. Dan ketika semakin bertumbuh, maka seseorang akan memiliki lebih banyak ikatan dengan manusia lainnya yang benar-benar rumit dan kompleks. Semakin banyak maka akan semakin kusut dan susah diurai. Bagiku, ikatan-ikatan itulah yang kadang kala bisa jadi memperkuat seseorang berada di dunia, atau justru sebaliknya. Menekan, mendesak, memeluk terlalu kuat sampai-sampai benar-benar dilenyapkan oleh kekuatannya. Semacam itu”
“Oh... Seberapa sering kau merasakannya?”
“Setiap hari. Aku rasa, mungkin semenjak jantungku pertama kali berdetak di dunia”
“Tapi buktinya, sekarang kau masih baik-baik saja. Duduk di sini. Menikmati segelas Green Tea Ice Blend dan dua potong Egg Bowl?”
“Ya, begitulah. Seperti yang telah ku katakan kepadamu, ikatan-ikatan itu terlampau rumit untuk diurai dan ditata. Maka segala hal tak mampu ditebak begitu saja. Tinggal bagaimana ketika hal itu terjadi, tiba-tiba saja Tuhan datang melalui ikatan-ikatan yang telah ku sebutkan tadi. Sebagai penyelamat. Mereka menyebutnya ‘Deus Ex Machina’ dalam beberapa contoh kasus karya sastra”
“Wow, lalu jika hal itu terjadi, apakah kau benar-benar menjadi lebih baik?”
Tanyanya lebih bersemangat. Mukanya berseri-seri dan matanya yang jernih membulat. Menampakkan betapa antusiasnya ia kali ini. Sambil merapatkan tubuh ke meja, gadis yang mungkin sebayaku itu, mengubah posisi tangan yang awalnya menopang dagu dengan kuat dan kini diletakknya kedua tangan itu bersedakap di atas meja. Punggungnya yang tadinya membungkuk, kini lebih tegak dan agak dicondongkan ke depan. Persis seperti gadis kecil yang menunggu lanjutan kisah dongeng dari guru Tknya.
“Tidak juga. Tidak sama sekali”
“Masih ingin bunuh diri?”
“Tentu”
“Mengapa?”
“Karena ternyata, para penyelamat itu bukan benar-benar penyelamat. Sesungguhnya, bagiku segala sesuatu yang datang tiba-tiba akan pergi dengan tiba-tiba pula. Begitupun mereka. Seperti seseorang yang mengajak kita kencan. Datang ke rumah, mengajak berjalan-jalan sebentar mengitari kota, menonton bioskop, ngobrol, makan es krim dan ketika malam mulai larut ia harus mengantarkan kita untuk kembali ke rumah. Ke tempat semula. Akan sangat berbeda jika hal itu dituliskan dalam kisah-kisah karya sastra misalnya. Disana mereka benar-benar bertindak sebagai penyelamat. Memberikan solusi seenaknya untuk menyelamatkan segala kekisruhan yang hadir dan habislah cerita”
“Mengapa begitu?”
“Ya... Karena pada kenyataannya mereka datang dari ikatan-ikatan itu. Ikatan yang akan terus berotasi mengitari kita. Persis seperti perputaran bulan mengelilingi bumi yang telah memiliki jalurnya sendiri. Akan seperti itu terus menerus. Sampai pada akhirnya nanti ia benar-benar tak punya kuasa untuk berputar atau ketika tak ada yang diputarinya lagi, barulah mereka berhenti”
“Hii..! Sungguh mengerikan. Aku yang hanya mendengarnya saja sudah ketakutan”
“Ya, memang”
“Ah, tapi tak apa. Setidaknya, ketika para penyelamat itu datang kau menjadi baikkan barang sebentarkan?”
“Mungkin kelihatannya seperti itu. Namun justru hal itu semakin memperburuk”
“Kenapa bisa?”
“Tentu saja! Jika kau lapar sementara kau hanya memiliki rokok dan tak ada uang sepeserpun di kantong celana saat itu, maka kau akan berhasil mengusirnya untuk beberapa saat saja. Setelahnya kau akan tetap merasakan lapar lagi, lagi dan lagi. Bahkan bagian terburuknya justru asam lambungmu naik lebih tinggi tanpa ampun”
“Rumit ya?”
“Seperti kataku diawal tadi”
“Berarti, kau tidak butuh penyelamat. Kau butuh seorang dokter. Em, maksudku seseorang yang benar-benar dokter”
Kali ini ku balas tatapan matanya sedikit lebih dalam. Dari bola mata itu, aku menangkap bahwa kalimat yang baru saja ia lontarkan bukanlah serangkaian tanggapan basa-basi. Seperti sebuah kepedulian atau bisa saja dianggap sebagai ungkapan kasihan. Tapi terlihat benar-benar tulus dan jujur.
Namun, hanya bertahan sekitar lima detik segera ku palingkan wajah ke arah jalan raya. Begitu banyak kendaraan lalu lalang. Motor, mobil, angkot yang seolah-olah ingin berkejaran dengan laju hujan. Teriakan tukang tambal ban yang menanyai penjaga toko kelontong sebelah lapaknya, suara knalpot motor rx-king yang terus menerus diderukan karena tiba-tiba mesinnya macet di jalan, serta semua bebunyian lain termasuk lagu ‘Havana’nya Camilia Cabello disusul beberapa lagu Banda Neira seperti ‘Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti’ serta suara-suara para pengunjung bercampur aduk menjadi sebuah dunia luar yang betul-betul dingin. Membuatku lebih memilih merasakan angin yang bertiup dari Utara menembus pori-pori kaos tipisku dan menyentuh kulitku bersamaan. Sementara, bau tanah basah tidak lagi tercium karena ini adalah hujan yang jatuh kesekian kali dan melunturkan bebauan khas itu tanpa sisa sedikitpun.
Ku tenggelamkan pandanganku lebih dalam. Bukan untuk mengamati hal-hal yang lain lagi. Tidak ada yang menarik satupun. Bahkan sebenarnya sedari tadi aku hanya melihat, tidak benar-benar berminat untuk mengamati apapun yang telah tertangkap oleh segala inderaku. Atau justru tak mampu menangkap lebih cermat. Seolah dihalangi oleh entah apa yang bergelombang dan menggema terus menerus sedari tadi. Menyamarkan segala yang ada disekitar. Dan sangat sedikit yang terserap lalu masuk ke otakku untuk dideskripsikan. Sisanya, hanyalah pandangan kosong yang dipenuhi oleh gelombang tanpa ujung pangkal, menari-nari riang namun dengan ekspresi yang menakutkan. Sekuat apapun ku coba menenggelamkan pandangan, justru semakin kuat pula aku tenggelam oleh gelombang yang entah sejak kapan berada di situ.
“Mohon maaf Kak, apa mau memesan lagi?”
Seorang waitress tiba-tiba mendatangi mejaku. Aku yang tersadar namun tidak sepenuhnya terkejut akan kehadirannya, spontan menjawab, Tidak. Lalu ia tersenyum kecil dan nampak sedikit enggan menjauh namun pada akhirnya pergi juga dengan langkah agak malas.
Setelah melepaskan padangan dari waitress yang kini punggungnya benar-benar ditelan oleh lekukan dinding pemisah ruangan cafe, aku baru tersadar. Bahwa seorang gadis yang tadinya dihadapanku, yang ku kira mungkin ia sebaya denganku itu juga menghilang. Cukup mengejutkan. Tapi tak lantas membuatku gusar untuk mencari. Karena hal seperti itu sudah sering terjadi. Saking seringnya, sampai-sampai menjadi biasa saja. Hanya meski biasa terjadi, disuatu waktu aku merasa tidak enak hati. Kalau-kalau mereka yang selama ini datang-pergi-kembali lagi-dan atau benar-benar pergi adalah dikarenakan oleh sikapku? Sikapku yang seketika tidak membuat nyaman mereka ketika berada di dekatku. Seperti seolah-olah merasa diabaikan. Persis seperti sekarang ini. Ah, sungguh, aku benar-benar tidak enak hati jika memang benar seperti itu adanya. Aku sama sekali tidak menyukainya. Ya, aku tidak suka membuat seseorang kecewa karena sikapku. Oleh karenanya, sampai sekarang aku masih terus berusaha untuk menjaga hati orang lain. Tidak ingin membuat siapapun kecewa. Namun, jangan salah paham. Meskipun begitu, bukan berarti aku adalah seorang gadis yang paling baik hati sedunia. Bukan. Karena sesungguhnya pekerjaan untuk menjaga hati orang lain adalah pekerjaan yang berat dan memuakkan. Bayangkan saja, menjelma menjadi seseorang yang memiliki hati bak malaikat dan selalu mengusahakan pertolongan kepada orang lain tanpa membuatnya kecewa. Bagaimana bisa? Bukankah orang bukanlah Tuhan? Jika dipikir-pikir aku sendiri sering merasa jijik dan kesal setiap kali mengingat untuk menawarkan atau sengaja dimintai tolong terhadap segala sesuatu padahal sebenarnya diri sendiri butuh bantuan. Dan entah mengapa terlalu sering aku meng’iya’kan. Atau ketika harus bersikap seperti gadis manis dengan air muka yang bersemangat ketika terlibat di sebuah perbincangan yang sebenarnya tidak ingin diikuti sama sekali. Entah apapun alasannya. Tidak bisa mengikuti-tidak cocok dengan pembahasan-tidak sepakat dengan opini dari pembahas lainnya atau alasan lain. Tapi toh ujung-ujungnya bertahan dengan tatapan mata konstan ke arah lawan bicara supaya tidak dianggap menyepelekan dengan sedikit bumbu senyuman kecil sepanjang perbincangan. Ah, benar-benar memuakkan!. Namun anehnya tak pernah bisa untuk tidak melakukan hal itu. Entahlah, begitu banyak kerumitan yang saling tumpang tindih dan saling terhubung.
Dan efeknya membuatku sering kali ingin sendirian. Benar-benar sendiri. Tanpa diganggu oleh siapapun, tanpa ditemani oleh siapapun. Berpikir tentang diri sendiri, mengerjakan apapun yang ku suka, menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan diri sendiri pula. Tidak ada tentang tubuh lain, tidak ada tentang senyuman atau tangisan untuk tubuh lain, tidak ada kepedulian yang pantas dicurahkan kepada tubuh lain. Kalaupun ada, maka yang ku ijinkan adalah perhatian semata tentang diriku. Hanya aku. Seperti halnya gadis bermata indah tadi. Yang kedatangannya entah dari kapan, akupun tidak sadar betul. Dan kepergiannya yang juga tanpa ku sadari. Bahkan aku juga lupa perbincangan kami dibuka dengan pembahasan macam apa, sampai pada akhirnya membicarakan tentang keinginanku untuk bunuh diri. Yang ku ingat, aku telah duduk berjam-jam dari sebelum matahari benar-benar tenggelam di meja cafe nomor 12 sampai hujan menelan separuh malam. Seorang diri.
Senin, 16 Oktober 2017
Bapak....!
“Sudahlah! Jangan merengek seperti itu! Biarkan aku
pergi! Aku sudah tidak tahan lagi.”
Bentak lelaki itu. Menghempaskan remasan tangan sang
istri yang memegang erat kaki kirinya. Ia pergi. Menyisakan jejak sepatu tak
penuh, berlumur tanah merah dari pekarangan rumah. Sementara sang istri masih
sesenggukan. Dadanya sesak. Tubuhnya bergetar kencang. Keringatnya mengucur
bagai keran. Sampai-sampai daster tidur berbahan katun selutut yang ia kenakan,
tak sanggup berkibar meski angin menyerangnya bertubi-tubi.
Ia meringkuk di lantai
dengan lesu. Tak sanggup membuka mata.
Baginya, membuka mata sama saja mengantarkan kepergian suami dengan rela.
Padahal, sampai malam ini, detik ini, ia masih tak kuasa memikul malam dengan
kesendirian. Apalagi untuk malam-malam yang akan datang. Sama sekali belum
terbayangkan. Begitu pula denganku.
Saat itu aku hanya berdiam diri di
kamar. Persis seperti malam-malam sebelumnya, ketika bapak dan ibu mulai suka beradu
mulut. Sesekali terdengar suara teriakan. Saling tuduh. Saling menyalahkan.
Sesekali terdengar seperti suara tamparan. Dan ujung-ujungnya suara tangis ibu pecah.
Sedikit ditahan. Lalu bapak keluar kamar membanting pintu. Pergi.
Dulu, jauh sebelum kami memutuskan pindah ke kota
ini, bapak dan ibu adalah pasangan paling romantis yang pernah aku temui. Maklum,
pernikahan mereka bukan pernikahan ala Siti Nurbaya. Meskipun kami dari desa
dan simbah adalah mak comblang yang
dipercaya oleh keluarga-keluarga ningrat perihal bab perjodohan. Ia tak pernah
melarang anaknya untuk dekat dengan siapapun. Mencoba menjodohkannya dengan
pegawai negeri, atau anak saudagar beras di desanya. Sama sekali tidak. Ia
memberikan kebebasan bagi putri semata wayangnya itu untuk membukakan hati
kepada siapapun yang ia cintai. Ia akan menerima. Bahkan ketika bapak datang ke
rumah bersama kedua orang tuanya.
“Sebelumnya saya meminta maaf kepada Bapak. Dengan lancang
tiba-tiba saya datang kemari bersama kedua orang tua. Meskipun saya tahu, Dik Rahayu adalah kembang desa yang
telah banyak diincar oleh para pria terhormat dan mapan, tidak seperti saya ini.
Yang hanya bermodalkan ijasah kuliah, dan harapan segera mendapatkan pekerjaan.
Namun, kali ini saya memberanikan diri untuk meminta izin kepada Bapak, melamar
Dik Rahayu demi mewujudkan
kebahagiaan kami semasa kuliah dulu. Ini adalah salah satu angan-angan yang
sudah bertahun-tahun lamanya kami bangun. Ya sebelum akhirnya kembali ke kota
masing-masing selepas lulus.” Ucapnya tanpa bergetar sedikitpun.
Kala itu di mata simbah, sikap ‘ lelaki’ Bapak yang
berani, tegas dan bernada sungguh-sungguh ternyata berhasil mencuri simpatinya.
Mengizinkan putrinya dipersunting oleh lelaki dari keluarga pas-pas an. Yang
dengan konyol datang ke rumah, melamar purtinya. Berbekal niat dan selembar
ijasah kuliah. Begitulah kenang simbah berulang kali sambil tertawa. Cerita
yang selalu ku dengar, ketika tubuhku masih cukup meringkuk dipangkuannya. Aku
senang sekali mendengarkan cerita itu. Apalagi ketika si mbah dengan suara
paraunya mencoba mempraktekkan gaya Bapak sekaligus gayanya sendiri yang terus
menatap tajam mata bapak, guna menguji keberaniannya. Lantas membuatku
berimajinasi. Membayangkan betapa Bapak adalah lelaki yang gagah berani.
Benar-benar ‘ seorang lelaki.’
Setahun setelah kepergiaan simbah - waktu
itu aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP- kami memutuskan untuk pindah ke
kota. Kabarnya, bapak diterima menjadi wartawan di salah satu surat kabar ternama
di sana. Demi mempermudah perkerjaan dan menjaga keutuhan rumah tangga, bapak
memboyong kami berdua. Awalnya kami menyewa sepetak rumah kontrak dengan dua
kamar kecil, ruang tamu sekaligus ruang tv dan dapur mungil di sebelah kamar
mandi.
Bulan-bulan awal terlewat dengan baik. Dengan cepat kami
mampu menyesuaikan diri. Maklum, komplek perumahan ini didominasi oleh warga
rantau seperti kami. Dari Solo, Jogja, Purwodadi, Demak, Kudus dan sisanya ada
yang dari Malang bahkan Jakarta. Sesekali ketika bapak tak pergi meliput, ia bercengkrama
bersama para tetangga yang berkumpul di pos ronda. Bermain remi, karambol atau
catur. Dan setiap pagi hari, ku dapati ibu berkumpul dengan ibu-ibu lainnya
yang mengerumini tukang sayur di dekat rumah. Sambil bergosip. Setiap minggu
pagi kami berbaris di depan rumah dan memulai senam sehat. Dilanjutkan dengan
kerja bhakti dan ngobrol santai. Serta yang paling aku suka, setiap malam,
sebelum tidur, kami bertiga berkumpul di ruang tv, melihat beberapa tayangan
dan membahas apa saja sampai lelah. Begitu berjalan selama hampir dua tahun
lamanya.
“Besok kita akan pindah,” celetuk Bapak waktu itu.
“Ke mana?,” tanyaku. Menoleh ke arah bapak yang
masih sibuk memencet layar hp di atas sofa.
“Ke rumah baru,” sahut ibu keluar dari dapur. Menurunkan
piring berisi pisang goreng dan duduk di samping bapak.
“Rumah baru?,”
“Iya, rumah baru. Yang lebih besar dari ini dan
lebih dekat dengan pusat kota,” tambah ibu tersenyum bahagia.
“Bapak beli rumah?,” tanyaku meyakinkan. Menyita
perhatian bapak sesaat, lalu ia menurunkan kaca mata dan mengangguk.
Benar, karir bapak sedang menanjak. Berkat
kegigihannya, dua bulan yang lalu ia mendapatkan promosi. Jabatannya naik. Kini
ia sah menjadi pimpinan redaksi. Dengan gaji yang yang lebih tinggi, bapak memutuskan
untuk membeli rumah di pusat kota. Ya, meskipun masih dalam tahap cicilan. Tapi
bulan selanjutnya kami mampu membeli mobil baru, mesin cuci yang lebih canggih
dan beberapa perabot rumah tangga yang lebih modern. Bahkan aku sendiri
dihadiahi sebuah iphone keluaran
terbaru.
Ibu sering kali keluar rumah untuk hangout bersama teman-teman
sosialitanya. Ia memang tidak bekerja sampai sekarang, namun nama bapak saja
sudah cukup. Cukup untuk membawanya bergabung dengan ibu-ibu necis istri dari para pejabat kota.
Hari senin, ibu ada arisan dengan grup A. Hari selasa
sore pergi bersama teman-teman Zumba-nya. Hari rabu adalah jadwal yoga. Kamis,
jumat, sabtu... dan kalaupun bertemu, kami hanya bertegur sapa seadanya.
“Oh iya, jangan lupa kalau nanti Adik keluar, pintunya
dikunci. Hari ini ibu tidak masak. Bapak juga akan pulang telat. Katanya ada
rapat. Nanti Adik makan diluar saja.”
“Dan satu lagi, tadi siang bapak sudah transferkan?
Nanti ibu kabari lagi kalau acara ibu sudah selesai.”
Lantas, ia bergegas pergi terburu-buru.
Memang, awalnya aku senang dengan ibu
yang tampak semakin bahagia. Dengan bapak yang memiliki karir cemerlang.
Beberapa kali bahkan ia dijadikan narasumber acara-acara kepenulisan di
kampus-kampus, juga kampusku. Namanya melambung. Apalagi semenjak ia berhasil
menerbitkan beberapa buku fiksi-pop yang laris manis di pasaran. Semenjak itu, tak
perlu ditanyakan. Pundi-pundi keluarga kami terkumpul dengan fantastis. Kunjungan-kunjungan
sosial yang dilakukan oleh ibu dan bapak juga sering menjadi sorotan media. Seperti
mengunjungi pasien kanker, ke rumah yatim piatu, korban bencana alam, menjadi pembicara
diskusi budaya dan yang lainnya. Semua kebutuhan tercukupi. Bahkan lebih.
Apapun yang ku inginkan juga dengan cepat dikabulkan. Namun, semenjak itu pula
tak hanya ibu yang jarang pulang. Bapak pun juga. Ia lebih sering mengirim
kabar mendadak seperti,
“Dik,
hari ini bapak tidak bisa pulang. Ada pertemuan mendadak. Nanti tolong kabarin
ibu ya. Daritadi bapak telpon nomornya nggak aktif. Kamu jaga rumah, kalau
keluar pintu dikunci.”
Atau
“Dik,
tadi bapak sudah transfer jatah bulananmu. Sekalian buat bayar les
musiknya. Dan satu lagi, bapak minta maaf, minggu ini sepertinya rencana buat
jalan-jalan di pending dulu. Bapak
ada urusan mendadak. Tadi ibu juga sudah bapak kasih tahu.”
Dan yang lain-lainnya.
Berbulan-bulan,
bertahun-tahun, sampai akhirnya kami menjumpai malam itu...
Aku masih menunggu jemputan ketika ibu baru
saja keluar.
Selang beberapa menit Vigo datang. Aku
masuk ke dalam mobilnya. Seperti biasa di bangku belakang sudah ada Rey dan
Dion. Aku mengenal mereka beberapa bulan yang lalu melalui situs pertemanan
onlen. Nongkrong, makan, sampai akhirnya sering keluar bersama.
“Mau makan dulu nggak?,” tanya Vigo.
“Nggak usah. Nanti aja di sana.” Jawabku.
“Tau tuh si Vigo. Biasanya juga sudah
sepaket sama room-nya,” tambah Dion.
“Sehat kan Han?,” tanya Rey kepadaku.
“Ya tentu saja.”
“Syukurlah.
Kalau malam minggu seperti ini, biasanya bakalan rame. Jangan kecapekan dulu
sebelum berperang,” canda Rey. Kami tertawa bersama.
Malam ini langit tak bersahabat. Gerimis
datang dan sesekali hujan mengguyur permukaan jalan. Atap-atap rumah, kursi
taman, pohon-pohon dan tanah. Bahkan sejak sore tadi. Kilat datang menyambar,
guntur bersahut-sahutan, lalu cakrawala berubah menjadi muram.
Kami berempat berlarian kecil sekeluarnya
dari mobil. Masuk ke room karaoke
menuju ke ruang ganti. Ku buka isi tas yang ku bawa dari rumah. Sebuah dress mungil berwarna merah marun,
sepaket alat make-up dan sepatu hak
tinggi penuh permata yang berkilat-kilat. Setelah berganti pakaian, ku pandangi
wajahku di cermin. Lantas membersihkannya sebentar. Mengoleskan pelembab, foundation, concealer, bedak tabur
beraroma melati, bedak padat. Lalu membentuk alis, memakai eyeshadow, menambahkan sedikit blush
on, memakai eyeliner, maskara,
menempelkan bulu mata palsu, dan tak lupa lipstik merah menyala.
“ Room
21 ya!,” ucap operator yang mendatangiku. Aku pun berjalan keluar. Sedikit
mendongak, sembari merapikan dandanan. Sesekali ku semprotkan minyak wangi
supaya aroma cherry yang lembut dapat menyatu dengan tubuhku.
“ Silakan...” ucap seorang operator lain
membukakan pintu seraya tersenyum.
Seperti biasanya, seperti malam-malam
sebelumnya beberapa bulan terakhir. Room karaoke
selalu sesak oleh musik-musik dengan volume tinggi, suara-suara sumbang yang
dipaksakan, asap-asap rokok, bau alkohol, serta keringat-keringat tubuh-tubuh
penuh napsu. Aku duduk merapat di antara tubuh-tubuh gempal Om-Om berkemeja
itu. Sesekali mereka memandangku dan mencoba mengajakku menari bersama irama
malam. Memeluk, menyodorkan minuman, dan menggosok-gosokkan pipinya ke pipiku. Satu
per satu dari mereka mulai mencicipiku. Tak terkecuali seorang terakhir yang
tampaknya telah tenggelam di dada seorang PL lain di sudut tempat duduk.
Matanya sudah layu. Badannya sentoyongan mencoba berdiri meraihku yang masih
melantunkan lagu. Dipangkunya tubuhku. Dihembuskannya napas di sela-sela
telinga dan rambutku. Wajahnya semakin mendekat. Kini kulit-kulit pipinya menekan bibirku.
Memaksaku untuk sedikit menoleh. Menghampiri bibirnya. Tapi tunggu, aku menahan
gerakanku. Memperhatikannya lebih cermat. Semakin cermat.....
“ Bapak!.”
Aku tersentak, mundur dan terjatuh ke
lantai. Begitu pula dengannya. Bergegas menyalakan lampu dan mendekatiku. Dengan
mata semerah darah dan dahi yang berkerut, ia menatapku tajam. Seolah-olah memastikan
apakah ia benar-benar mengenali diriku.
“ Gila! Apa-apaan kau ini! “
‘Plak!’
Bapak menamparku.
“ Mau jadi apa kau ini! He?,” Bapak
menyeretku keluar setelah berkali-kali menampar pipiku dan mengumpat dengan
kasar. Merobek bajuku, menjambak dan akhirnya membawaku pulang
Semenjak saat itu, Ibu dan bapak sering
cekcok. Saling menyalahkan. Apalagi berita tentang keluarga kami begitu cepat
menyebar, membuat kami menjadi sorotan banyak orang. Dimanapun, kapanpun,
siapapun di seluruh sudut kota ini tak ada satu pun yang absen membicarakannya.
Secara blak-blak an, bisik-bisik atau sekasar umpatan di media sosial. Di
kafe-kafe, rumah makan, kantor, pasar, sekolahan, bahkan juga mereka yang
dengan sengaja lewat di depan rumah kami sambil bergunjing,
“ Gila ya, orang tua yang kelihatannya hebat
saja nggak bisa mendidik anak. Menjadi PL saja udah nggak bener. Apalagi
ditambah berdandan layaknya wanita. Mau jadi apa dia?. Edan edan... bener-bener
edan! Amit-amit jabang bayi!.”
Tembalang, 16 September 2017
Minggu, 15 Oktober 2017
Namanya Rico...
Aku masih duduk memandangi jendela bus saat sebuah
pesan singkat nongol di layar hp.
“Sampai mana?,” sebuah teks yang ku tunggu-tunggu.
“Sebentar lagi sampai,” balasku.
Tepat pukul
01.00, bus jurusan Jogja-Solo yang ku naiki tak pula memelankan laju. Padahal
jalanan tampak mengkilat karena hujan tak kunjung reda. Aku tidak tahu seberapa
cepat si sopir menekan pedal gas, atau bahkan tak peduli. Yang ku tahu, aku
akan segera menjumpai seseorang yang telah menunggu sedari hari belum berganti,
di terminal malam ini. Meskipun beberapa kali tubuhku sempat terguncang dan
bergeser sedikit karena polah sopir yang seperti kesetanan mengejar setoran.
Jujur saja, ini bukan pertama kalinya ku
beranikan diri menginjakkan kaki di kota orang. Namun, ini adalah kali pertama
aku menginjakkan kaki di kota orang, malam-malam, didorong oleh rasa penasaran
bercampur dengan bahagia. Untuk bertemu. Bertemu seseorang yang selama ini
telah menjadikan hari-hariku bertabur bunga-bunga dengan wangi yang semerbak.
Lebih wangi dibandingkan kembang setaman yang sering dibeli simbah untuk nyekar
ketika malam jumat tiba.
Aku memang baru saja mengenalnya. Sekitar empat
bulan yang lalu. Kami bertemu disalah satu situs pertemanan online yang sedang
ramai-ramainya di dunia maya. Facebook.
Maka jangan heran, meski diriku sejak kecil hingga kuliah berada di Jogja, dan
sama sekali belum pernah mengunjungi kota tujuanku saat ini, aku merasa telah
mengenalnya dengan baik. Bahkan pertemanan kami yang tak disengaja itu,
membuatku benar-benar melakukan hal yang konyol seperti sekarang.
Hampir setiap hari ia mengomentari status yang ku
bagikan. Membalas beberapa sajak yang ku tulis dengan soliloque-nya, menyukai
positnganku sampai tak jarang membagikan kiriman yang ku tulis pula. Ya, hampir
setiap hari. Mulanya aku tidak peduli. Ku pikir ia adalah satu dari ribuan
orang kurang kerjaan yang menanggapi hasil pemikiran kurang kerjaanku pula.
Tapi lama-lama kami sering berdiskusi. Saling mengirimkan inbox, berbagi informasi dan literasi, lalu membuat prosa
bersambung. Lebih lanjut, akhirnya kami bertukar nomor WhatsApp. Di sana kami bisa berkomunikasi lebih lancar. Melanjutkan
obrolan tentang Liberalisme, Feminis, Post Modern, hingga omong kosong lainnya.
Lama-lama setiap pagi ia memberanikan diri untuk menyapa. Seperti, ‘ Selamat pagi Puan... Ayo bangun! Keburu
mataharinya ngambek loh!’ atau ‘
Sudah makankah?’ ‘ Jangan lupa minum air putih!’ ‘ Jangan tidur terlalu malam.
Jaga kesehatan.’ Dan yang lainnya. Berangsur-angsur menjadi sebuah
rutinitas. Seperti ia adalah bagian dari aku, dan aku adalah bagian darinya. Semacam
proses berbagi. Sampai pada proses bernegosiasi tiap kali masing-masing dari
kami harus mengambil keputusan terhadap segala sesuatu. Dan sekarang, kami
benar-benar akan bertemu......
“Terminal-terminal......,” teriak kenek bus. Sambil
sedikit menoleh kebelakang dan berdiri, bersiap membukakan pintu dengan
buru-buru.
Begitupun aku yang sesegera mungkin bangkit. Menata
posisi tas ransel sebentar, lalu segera maju merapat ke pintu.
Gerimis masih meracau ketika diriku
menepi di antara beberapa orang yang tengah duduk-duduk, tertidur, atau berlarian
kecil berusaha menyelamatkan dirinya dari basah di sekitar ruang tunggu
terminal. Aku duduk. Sesekali mengecek hp dan mencari-cari wajah yang potonya
beberapa kali sengaja ku simpan untuk ku ingat-ingat.
“Aku sudah sampai. Kau dimana?,” ketikku singkat.
Sambil sesekali merapikan rambut yang lepek tak
karuan, ku lepaskan ransel supaya duduk lebih nyaman. Ku tengok lagi ke kanan
dan ke kiri. Mencari-cari tubuh seseorang yang mungkin sedang berjalan menuju
ke arahku. Memakai jas hujankah? Payung? Atau tubuh basah kuyup seperti
beberapa orang yang hilir mudik menjemput orang lain tadi?
Ku cek kembali hpku. Terkirim. Tapi belum dibaca. Apa kelamaan? Atau dia ketiduran?
Ku pandangi kembali sekeliling. Beberapa tubuh yang
tergeletak lesu dengan suara ngorok yang tak kalah kencang dibanding hujan
ialah orang-orang terminal seperti, penjual koran, pengemis, dan beberapa yang
aku tak tahu memiliki pofesi apa. Yang jelas, ku pikir tidak ada diantara salah
satu dari mereka.
“Nunggu orang Mbak?,” sapa seorang lelaki muda yang
mungkin seumuranku itu.
“Iya,” jawabku pelan sambil memperhatikannya. Dari
gayanya, ku pikir dia juga mahasiswa seperti diriku. Ya, gaya mahasiswa pada
umumnya. Kemeja flanel yang dipadukan dengan kaos combed bergambar Jimmy Hendrick, celana jeans denim, serta sepatu sneakers tua berwarna coklat kusam. Pas
sekali dengan rambut ikal yang dikuncir sebahu. Wajah berbulu dan berkumis
tipis itu, serta alis yang tegas melindungi sorot matanya yang teduh. Membuat
dirinya lebih ‘ terlihat’ dibanding penghuni
terminal lain malam ini.
Oh astaga!
Jangan-jangan dia orangnya!. Pikirku girang sambil menata rambut dan
merapikan duduk. Gugup.
“Masnya juga?,” tanyaku, ia tersenyum kecil dan
mengangguk. Lagi-lagi membiarkanku semakin penasaran dan salah tingkah.
“Masnya daritadi disini?.”
“Iya..” jawabnya lagi dengan sedikit diseret,
seperti jawaban yang menerka-nerka.
Kenapa daritadi
aku tidak sadar? Tapi kenapa dia diam saja?
Kembali ku atur posisi duduk. Sedikit menghela
nafas, dan menenangkan kaki yang tak pernah bisa terdiam jika terlalu gugup
seperti sekarang.
“Masnya.. nunggu siapa?.” Ia menoleh ke arahku,
sedikit mengerutkan dahi. Kali ini sorot matanya tak seramah sebelumnya. Persis
seperti induk macan yang sedang diganggu anak-anaknya. Benar-benar membuatku
tak enak hati.
“Em.. maksud saya, masnya lagi nunggu temen ya?,”
tambahku ragu-ragu.
“Iya.. “
“Perempuan?”
“Iya....”
“Rico ya? Hai, aku Andini!.” Kataku bersemangat.
Lelaki muda itu semakin diam dan menatapku curiga.
“Bukan...” katanya, lantas berdiri dan bergegas
menjauh. Tanpa sedikit pun menoleh kembali ke arahku.
Ah, bukan... pikirku kecewa, seraya melihat punggungnya
menghilang dari balik belokan ruko-ruko terminal yang telah tutup.
Sekarang aku kembali sendirian. Bersama beberapa
pasang mata yang ternyata sedari tadi memperhatikanku tajam. Membuatku tersudut.
Seperti rusa di tengah sabana. Dan mata-mata itu adalah milik macan tutul yang
siap menerkamku sebagai makan malamnya. Benar-benar merasa terancam. Ku
rapatkan tubuh memeluk ransel. Sementara orang-orang satu persatu pergi bersama
jemputannya. Ku cek hp beberapa kali. Belum ada balasan.
Astaga, konyol
sekali diriku! Seharusnya aku tak sesembrono ini. Ah, sial!
Hampir satu jam. Mataku mulai mengantuk. Tapi aku
tak ingin tidur. Tubuhku telah lelah. Tapi aku tak lantas boleh menyerah.
Bukan, bukan sekarang. Memang ini kota orang, tapi aku masih punya Tuhan.
Sambil masih terus berdoa dengan cemas, aku menunduk menghindari
tatapan-tatapan kasar sekitar. Yang membuatku semakin seperti onggokan daging
siap santap. Serta merawat kekecewaan yang hampir membuahkan air di kedua sudut
mata. Tapi tak bisa. Ini belum berakhir. Pikirku penuh harap.
“Dimana sekarang? Maaf, tadi hpku mati.” Sebuah
pesan masuk menyelamatkanku dari situasi.
“Terminal. Kau dimana? Katamu kau sudah disini
sebelum aku datang? Aku sendirian. Dari satu jam yang lalu.”
“Maaf. Benar tadi aku sudah disana, tapi tiba-tiba
aku ada urusan. Oh ya, sekarang aku tidak bisa menjemputmu. Motorku sedang
dipakai temanku. Bisakah kau ke tempatku saja? Ku share loc ya. Aku tunggu di sini.”
Tanpa berlama-lama, ia mengirim lokasi dimana ia
berada.
Ah, kenapa tidak
dari tadi? Pikirku jengkel. Lantas
berjalan keluar memesan taksi.
Kurang dari 15 menit aku sampai di depan
sebuah kedai kopi. Ku langkahkan kaki setelah membayar sejumlah uang kepada
supir taksi, tanpa sedikitpun merapikan kemeja, atau memperdulikan rambut yang
terkoyak angin bercampur air hujan. Aku sudah teramat lelah. Ku pilih tempat
duduk di sudut depan kedai. Memesan secangkir kopi Arabica panas. Menyruputnya,
membakar sebatang rokok, dan menggosok-gosokkan tangan sesekali. Supaya lebih
hangat. Kali ini, tak ada lagi hasrat untuk mengawali mengabarinya.
Biar dia saja
yang mencariku. Gantian dong! Pikirku
masih jengkel.
“Sudah sampai?.”
“Sudah.” Balasku singkat.
Tak berapa lama...
“Hai!” sapa seorang wanita muda bertubuh putih
tinggi semampai.Wajahnya halus tanpa jerawat. Berwarna putih kemerahan seperti
pantat bayi. Cantik.
“Halo..” balasku. Kami bersalaman sebentar.
Tangannya halus seperti tidak pernah bergesekkan dengan benda kasar sedikitpun.
Ia tersenyum. Gigi-giginya berbehel rapi. Namun tetap terlihat putih-putih dan
bersih. Ketika ia duduk persis di hadapanku, aroma parfumnya menyeruak. Wangi
sekali. Tapi aku masih tidak tahu ia siapa.
“Cari Riko ya?,” tanyanya lagi sembari menyopot
jaket. Akupun mengangguk.
“Sudah lama?.”
“Lumayan...”
“ Maaf ya sudah membuatmu menunggu.” Katanya
nyerocos masih sibuk menyopot anting dan mencoba memanggil waitress untuk memesan kopi.
Sementara aku masih menerka-nerka dan semakin bingung.
“Em.. maaf? Kalau boleh tahu Anda siapa ya? Adiknya?
Kakaknya? Temannya? Atau... Pacarnya? ,” tanyaku benar-benar ingin tahu.
Ia tersenyum. Membakar rokok, menyopot wig. Sedikit menyondongkan badan ke
depan, lalu menatapku tajam.
“Aku Rico!.”
Tembalang, 16
September 2017
Langganan:
Postingan (Atom)