Kamis, 21 Februari 2019

Rabu, 20 Februari 2019

Perempuan Yang Selalu Salah Memilih Warna Lipstik


Oleh: Titis W.
“Potret perempuan yang selalu salah memilih warna lipstik ketika masuk ke toko ‘make-up’, membuatnya hobi sekali ‘merampok’ pewarna bibir milik ibunya sewaktu pulang ke rumah. Tapi, sayangnya dia belum juga menyerah. Sampai sore tadi, lagi-lagi dia ‘sembrono’ beli lipsbalm dan ternyata hasilnya sama: sebuah kekecewaan. Yap, sudah bisa ditebak, kegagalan yang kesekian kali ini sejenak membuatnya sejenak kesal. Namun, dia masih berharap untuk bisa beli lipstik sendiri suatu saat nanti”

Jena adalah seorang mahasiswa biasa. Sehari-hari suka sekali makan di warung dengan menu yang biasa: telur atau ayam, paling mentok bisa makan sate kesukaannya—yang bagi sebagian orang juga sudah biasa. Suka memakai pakaian yang biasa: kaos oblong dipadu celana jeans dan sendal gunung. Ya, kadang terpaksa memakai sepatu kets dipadu kemeja jika serasa ada agenda yang mengharuskan sedikit berpenampilan resmi—itu pun sebenarnya dianggap banyak orang biasa. Kuliah dengan nilai ipk yang biasa—suka sekali memilih bangku agak belakang dan berdiam diri berharap tidak kena sasaran pertanyaan dosen. Berkumpul dengan orang-orang yang suka bergosip dengan biasa—mulai dari gosip artis, gosip teman-teman yang tidak gabung nongkrong, atau sok-sok an ngikutin gosip pemilu. Bangun dan tidur dengan waktu biasa—bagi mahasiswa lama (seperti Jena) pagi adalah pukul 10 am, siang adalah pukul 1 pm atau 2 pm, sore adalah pukul 7 pm dan malam di atas jam 12 pm. Pernah memiliki kisah percintaan yang biasa—pacaran cukup lama dan serius, tapi putus karena hal sepele. Benar-benar tidak ada yang telalu menonjol dari dirinya kecuali mood yang sering naik turun dan banyaknya kegagalan demi kegagalan yang ia lakukan, seperti kejengkelannya memilih warna lipstik!
“Aku baru beli lipgloss,” kata Jena pamer kepada salah seorang temannya yang belum kelar meloloskan aliran es goodday dari kerongkongannya.
“Tara...” tambah Jena lagi. Sebuah benda berbentuk tabung kecil dan panjang ia keluarkan dari dalam tote bag.
“Itu lipgloss apa lipbalm?,” tanya temannya tadi.
Kerutan wajah Jena yang melebar di kedua sudut bibir nampak berubah datar.
“Yah.. apa iya ya?.” Cepat-cepat Jena periksa benda yang belum sampai ia lepas bungkusnya itu.
“Yah.. iya, salah...” Lagi-lagi raut mukanya cepat berubah menjadi kesal.
“Coba lihat!,” sahut temannya sambil ketawa.
Tidak sampai disitu, kekesalan Jena bertambah ketika mulai mencoba lipbalm itu di bibirnya. Bukan tambah manis, justru persis seperti habis kena pukul. Merah lebam. Begitu cepat-cepat ia mengambil tissue di meja dan mengelapnya. Benar-benar kesal.
“Aku sih nggak suka pake lipgloss atau model lipbalm kayak gini. Kayak susah buat gerak bibirnya, apalagi ntar bisa bikin bibir cepet kering,” ucap temannya yang juga sempat mengoles benda itu di bibir dan lantas menghapusnya pula.
“Aku sebenernya juga nggak suka yang kinclong gini. Soalnya biasanya kalo beli lipstik, pasti salah warna. Ya udah, tadi aku mampir ke Indomaret, iseng beli ini. Ku pikir paling aman karena paling umum dipake cewek-cewek. Eh, tetep aja salah ternyata..,” timpal Jena.
Bukan cuma sekali. Kejadian salah memilih warna lipstik sudah Jena alami berkali-kali. Bahkan kalau diruntut, sekalipun dia belum pernah berhasil membeli benda pewarna bibir yang digemari semua cewek dan jadi pesona tambahan bagi mata lelaki itu dengan benar. Itu yang akhirnya membuat Jena kesal. Karenanya dia seringkali meminta beberapa lipstik koleksi ibunya ketika pulang ke rumah. Lipstik-lipstik itu yang sering dipakai Jena. Menurutnya, warna-warna yang dipilih ibunya selalu cocok untuk sedikit menaikkan pesona Jena yang biasa-biasa saja. Hanya saja, sudah lama sekali ia belum pulang ke rumah. Sedangkan di sini, ia cukup susah mencari merk lipstik yang sama dengan koleksi ibunya. Bahkah tidak jarang, ketika masuk ke toko ­make up, Jena menjadi benar-benar bingung. Di sini—di  tempat ia merantau, segala sesuatu tampak begitu serba ada dan mewah. Tidak terkecuali dengan toko make up. Pintunya yang terbuat dari kaca, sudah cukup memanjakan mata dari luar toko. Belum lagi ketika masuk ke dalam, wah... benar-benar menakjubkan! Dari sisi mana pun, Jena merasa terkesan dan nyaman berada di dalam benda magis itu. Ya, benda magis! Bagaimana tidak magis? Setahu Jena, toko make up adalah salah satu surganya para perempuan. Kebun aneka tumbuhan ajaib yang nantinya bisa dimasak di dapur. Lalu disajikan untuk dimakan sendiri atau bersama teman teman-teman lainnya. Aroma yang khas dengan parfum-parfum, lantai dan dinding yang serba bersih, kaca-kaca yang besar, lampu yang menyala terang, aneka pilihan merk dan harga, pelayan yang ramah, apalagi jika ada diskon besar-besaran! Benar-benar seperti benda magis yang menarik semua perempuan untuk mengerumuni tempat semacam ini.
“Eh, besok belanja make up yuk! Bedakku abis, handbody juga,” ajak salah seorang teman Jena suatu waktu.
“Yah, lagi nggak punya duit,” kata Jena.
“Yaelah, lihat-lihat aja dulu sambil nemanin aku. Siapa tahu ada diskonankan?,” pinta temannya.
“Em.. oke deh, boleh.”
Begitu seringkali obrolan yang berujung pada pembelian benda-benda yang pada akhirnya membuat Jena menyesal sesaat, termasuk lipstik. Sekali, dua kali, tiga, empat... dan belum pernah ada yang berakhir menyenangkan. Terkadang ia tergiur karena diskon yang besar, terkadang ia tergiur karena produknya branded, terkadang ia tergiur karena lampu toko yang terlampau terang dan membuat rupa yang bagus saat mencoba di tempat, terkadang ia benar-benar butuh tapi tidak sempat mencoba karena terburu-buru, terkadang ia iseng dan aji mumpung dalam memilih produk, dan lebih sering ia tergiur karena promosi dari temannya yang lebih dulu menggunakan produk itu...
“Eh itu lipstikmu merk apa deh?,” tanya Jena suatu ketika saat nongkrong bareng temannya.
“Kenapa? Baguskan?,” kata temannya sambil senyum-senyum.
“Iya. Itu nomor berapa?,”
“Kalau mau beli, kamu buka aja deh ig-nya. Itu barang-barang impor kok dan bermerk, tapi murah. Aku baru banget follow kemaren. Terus aku beli ini.”
Sesegera mungkin Jena membuka ig dan membeli produk yang persis dengan teman Jena beli. Beberapa hari setelahnya, datanglah lipstik itu. Jena begitu gembira. Cepat-cepat ia membuka kardus kecil dengan packing bercover kertas kado bunga-bunga pink cukup rapi. Tanpa menunggu aba-aba, ia oleskan lipstik itu sambil berkaca. Setelah serasa cukup memenuhi bibir, Jena sekali lagi berkaca memastikan tidak belepotan dan segera pergi ke warung biasa tempat ia makan sambil bergosip dengan teman-temannya.
“Eh, kok bibirmu jadi aneh gitu si!,” kata salah seorang teman tepat saat Jena duduk.
“Iya ih, nggak kayak biasanya. Aneh tau warna lipstiknya. Nggak cocok. Nggak kamu banget!,” tambah yang lain.
“Lah, ini kan sama kayak yang kamu beli kemaren. Nomornya juga sama kok,” sergah Jena.
“Masa? Tapi nggak cocok ya ternyata di kamu,” komen temannya.
Semenjak itu, Jena semakin sebal jika lipstik yang ia bawa dari rumah habis. Karena ia menjadi benar-benar pusing mencari warna yang cocok untuk bibirnya. Apalagi, jika teman-temannya sudah berkomentar yang aneh-aneh. Benar-benar membuat Jena tidak percaya diri. Tak jarang ia berkali-kali meraih kaca sebelum keluar kamar, lagi-lagi hanya untuk memastikan apakah ada penampilannya yang kurang pas? Atau berlebihankah warna lipstik yang ia pakai? Atau justru bagian mana yang kurang supaya tidak menjadi pusat perhatian karena aneh? Begitu ia yakinkan lagi dan lagi sampai merasa mantap dan tidak ada yang kurang.
Jena adalah seorang mahasiswa biasa. Bulan kedelapan tahun ini, ia tepat tujuh tahun kuliah. Itu berarti, sudah hampir tujuh tahun pula Jena tanpa sadar hanya menjadi mahasiswa biasa dengan keseharian yang biasa-biasa saja pula. Makan dengan menu biasa, berpakaian biasa, nongkrong dengan teman-teman sambil menggosip dengan biasa, bangun dan tidur dengan jam yang biasa, kuliah dengan biasa, dan mengerumuni toko make up dengan biasa. Hanya saja masih tidak bisa memilih warna lipstik yang tepat untuk bibirnya. Ujung-ujungnya lipstik-lipstik itu tergeletak di kotak make up sampai tanggal kadaluarsanya terlewat. Padahal, Jena hanya berusaha menjadi sama dengan yang lainnya biar tidak dianggap berbeda saja. Tapi  ternyata tidak semudah yang dipikirkan olehnya. Upayanya yang berkali-kali gagal, membuat Jena menjadi jengkel sendiri, lalu mencoba lagi dan lagi, lagi dan lagi. Begitu terus tanpa terputus, kecuali ia memakai lipstik dari ibunya.
Jena adalah seorang perempuan biasa. Di bulan kelima tahun ini ia berusia seperempat abad. Di usia yang kata orang cukup matang itu ada kabar baik tentang Jena. Kabarnya, karena moodnya yang cepat berubah, sekarang ini Jena sudah tidak sejengkel kemaren atau tadi sore. Jena hanya memikirkan dua hal: pertama, bulan kelima tahun ini ia harus sudah sah menjadi sarjana. Kedua, ia tetap berharap bisa memilih warna lipstik yang cocok untuk bibirnya suatu saat nanti.

Semarang, 21/02/2019
02.38 WIB

Jumat, 21 September 2018

SURAT UNTUKNYA....


Minggu-minggu ini begitu penat.
Banyak sekali rencana-rencana yang hilir mudik saling mengantre di kepala.
Sementara, deadline-deadline panjang jelas terpampang dengan tulisan tebal berstabilo merah menyala.
Selasa, 4 September 2018.
23.34 WIB.
Sebuah pesan menyusup lewat aplikasi bernama Whatsapp.
“Ibu di opname!”
Serentak, semua yang awalnya hilir-mudik dengan rapih menjadi kalang kabut berlarian, di kepala.
Kopiku masih setengah gelas kala itu. Sudah tidak terlalu hangat, memang. Ternyata dinginnya malam itu, semakin menambah kekacauan yang membabi buta tanpa jaket.
Semua kedinginan, malah-malah hampir beku. Berlarian-lalu membeku. Tidak ada gerakan yang tadinya gencar. Kaku. Mati beberapa detik. Tidak tenang juga. Dingin...
Sampai pada akhirnya, ku pesan kembali segelas kopi panas kepada penjual.
Sebagai tuan rumah rencana-rencana di kepala, akhirnya ku putuskan menyeruput pelan kopi panas supaya semua mencair perlahan. Mencair, pelan-pelan membanjiri sela-sela tulang tengkorak, daging, darah, kulit...
Eits! Yang mau menyusup lewat bola mata, jangan diam-diam! Karena kau masih pula ketahuan!
Nakal juga yang mau menerobos lewat bola mata, pikirku. Mereka pikir akan ku loloskan begitu saja? Enak betul!
STOP!
Lewat yang lain saja! Rute yang ini sudah ditutup dari beberapa waktu yang lalu!
Karena “rawan longsor!”
Jangan coba-coba menyuap saya! Percuma! Saya sudah kebal suap!
Digertak sedikit saja, mereka sudah luluh. Dasar pemberontak kecil! Mau menentang tuan rumah? Ya jelas tidak bisa!
Wong saya yang punya rumah!
Rabu, 5 September 2018
01.24 WIB
Aku memutuskan untuk kembali kos an barang sebentar. Packing.
Seorang teman yang masih asik melirik gawainya masih tidak sadar terhadap kekacauan yang terjadi di dalam lalu lintas tubuhku. Aku hanya berpesan,
titip barang-barang sebentar. Aku mau ke kos an. Nanti ke sini lagi.”
Barangkali hanya butuh 10 menit, aku kembali duduk dan melanjutkan menunggu teman lain yang sudah sedari sore janjian untuk ketemu. Tentunya demi aliran lalu lintas di kepala yang lebih lancar. Ya, supaya tidak semakin macet dan lebih parah mengklakson pengantre yang lain. Bising! Aku tidak suka kebisingan.
01.49 WIB
Datanglah teman lain yang pulang dari rutinitas hariannya. Karena lapar, atau karena butuh hiburan, ia duduk di meja kami lantas menyapa basa-basi.
Mau ke mana?”
“Pulang”
“Ibu sakit?”
“Opname”
Tet-tret-tet-tet-teeeeeeeet...................
Tiba-tiba seperti ada musik penyela pengganti suasana yang biasanya hadir di beberapa part film. Sedetik kemudian kami bertiga seperti sama-sama saling menata hidangan di meja makan. Terdiam, sambil menggeser-geser piring-mangkuk-gelas-sendok-garpu-serbet-tissue-saos-kecap, dan sesekali mencicipi hidangan. Memastikan menu hari ini tidak beracun dan laik dimakan.
Pelan-pelan ku deskripsikan ulang barang sedikit kekacauan di kepala. Apalagi setelah teman yang ku nanti kehadirannya datang juga beberapa waktu setelahnya.
Tentu saja, tidak ada kepala yang siap menerima kabar buruk tentang apapun itu. Dan sialnya, karena kepala selalu diselimuti udara, maka ia akan dengan mudah menerima pesan sesuka angin berhembus.
Sedangkan pesan-pesan lain saja masih bertumpuk belum tersampaikan. Untung saja, jika mau menata pelan-pelan dan hati-hati, mungkin akan lebih enak jika sudah diatur kepada siapa harus di kirim, hari apa harus mengirim, apa alamat si tuan rumah berikutnya, dan jangan lupa sertakan amplop yang rapat. Malam ini dingin sekali!
Aku pulang.
07.14 WIB
WIJAYAKUSUMA 1, NO 2.
Aku sampai di rumah sakit.
Ibu sudah bangun. Mungkin tadi pagi ia tidak terlalu nyenyak. Beberapa kali di perjalanan, beliau mengirim pesan. Masih saja khawatir kepada ku. Heran juga. Tidak cukupkah biar aku saja yang khawatir? Jangan yang lain. Apalagi ibu...
Tidak tidur sehari bukanlah sesuatu yang terjadi satu-dua kali. Jadi aku rasa, tidak akan menjadi kondisi yang menyusahkan. Tapi ternyata, mungkin kali ini pengecualian. Saat ini tidak hanya kepalaku yang kacau, tapi badanku pula. Ah, brengsek!
Namun, kekacauan kondisi ibu, menjadi pisau yang lebih tajam dibandingkan dengan carut-marut yang ku rasakan saat itu.
Aku pikir, aku tidak boleh tumbang. Tidak ada rasa kasihan yang pantas dicurahkan oleh siapapun, jika aku tumbang kali ini. Justru akan lebih kacau lagi. Bising. Aku tidak suka kebisingan!
Berhari-hari aku di rumah sakit. Tidur jika mengantuk. Bangun karena khawatir, barangkali ibu ingin kencing-buang air besar-mandi-lapar-mengganti cairan infus-atau mengobrol dengan dokter setelah dikontrol tiap paginya.
Memang tidak senyeyak yang ku bayangkan. Tidak setenang yang ku harapkan. Tapi, aku cukup senang menunggu ibu di rumah sakit. Aku menemui banyak hal karenanya. Masa kecil, aroma kencing ibu, dan letupan kecil di toilet.*
*Di pos sebelumnya

Sabtu, 8 September 2018
13.05 WIB
Bapak datang.
Beliau datang dari perjalanan rute Madura-Surabaya-Pati.
Sebenarnya, kapal ikan yang dinahkodai beliau belum waktunya pulang. Seorang diri ia ijin kepada awak kapal untuk pulang sebentar. Mungkin, kepalanya menyerap kabar yang disampaikan oleh angin.
Sial! Lagi-lagi karena kepala selalu diselimuti udara. Maka angin dengan sesukanya mengabarkan segala yang ia ketahui.
Ku belikan nasi bungkus di dekat area rumah sakit untuk sarapan Bapak, yang dari dua hari dua malam perjalanan perutnya sama sekali belum terisi benda apapun. Matanya masih terjaga melihat setiap carut-marut kota menuju carut marut pedesaan yang sama kacaunya. Merekam setiap lalu lalang manusia, mengopi lamat-lamat wajah-wajah baru secara tak sengaja. Sedang aku yakin, lalu lintas di kepalanya justru lebih bebal dan nakal! Berisi pemberontak-pemberontak licik-pembawa laras panjang bersusulan. Mengkoyak-koyak garang!
21.34 WIB
Sudah dua kali Bapak muntah dan berak darah di kamar mandi. Beberapa kali tergoler lemas di atas tikar, setelah kembali. Mencoba sesekali terlelap, tapi selalu digagalkan oleh mual dan sakit perut.
Akhirnya ku bawa ia ke IGD, setelah bertanya kepada perawat tentang dokter jaga yang bisa memeriksa beliau.
Setelah ditanya-tanya, dan aku wara-wiri ke administrasi untuk menyerahkan ktp, dokter menyarankan untuk diopname!
Brengsek! Tambah lagi kekacauan melintas sampai ubun-ubun. Tidak cukupkah yang sudah-sudah? Pikirku. Ah, ya sudah. Aku duduk sebentar. Mencari rute lain, sebentar. Tidak ada. Bapak sudah memakai selang infus di tangannya, tapi tubuhnya masih lemas. Ku gali pelan-pelan tanah lain, membuat rute alternatif baru.
Akhirnya, ku putuskan meminta ruangan yang tidak jauh dengan kamar ibu.
WIJAYAKUSUMA 1, NO 10.
22. 44 WIB
Bapak sudah di ruangannya. Aku tahu, beliau kecewa karena harus dipaksa opname oleh kondisi badannya. Sebenarnya aku juga tak kalah jengkel, tapi tidak ada rute lain yang bisa dilalui selain itu. Semua macet! Kebanjiran! Longsor!
Aku kembali ke kamar ibu. Beliau belum tidur. Semakin penasaran, bagaimana kondisi bapak. Dalam beberapa menit, aku masih belum bisa cerita. Ibu sakit Jantung.
Aku bingung sekali. Bukan masalah bagaimana nantinya aku menjaga mereka berdua, tapi bagaimana caranya memberitahu kepada ibu.
Beberapa kali aku keluar ruangan. Gusar. Lalu kuputuskan untuk menghubungi saudara di rumah. Meminta bantuan kepada mereka. Maka, kuputuskan untuk berterus terang kepada ibu setelahnya. Karena setelah ku pikir-pikir, tidak ada gunanya menutup-nutupi kenyataan. Hanya akan menyimpan luka yang lebih dalam. Dalam kasus ini, tentu tidak bisa membohongi kondisi Bapak yang juga butuh pertolongan segera dan tidak secepat yang dibayangkan. Tentu, supaya ibu juga segera bisa tidur.
23.12 WIB
Aku menghubungi beberapa teman. Bukan, bukan untuk meminta pertolongan perihal yang terjadi padaku saat itu. Aku menghubungi mereka untuk meminta pertolongan perihal pesan lain.
Rencananya, kami—guyub rukun TBRS—memang sudah merancang agenda untuk menyambut tahun baru Sura—dalam kalender Jawa, di TBRS pada tanggal 9-10 September ini. Sebagai salah satu orang yang terlibat, dicampur dengan kekacauan yang tak terduga, akhirnya ku putuskan untuk blokosuta pamit dan sedikit mengabarkan kondisi yang tidak memungkinkan ini. Tentu saja, memohon bantuan atas kekacauan lain yang harus ku tinggalkan, apalagi yang berhubungan dengan jobdesk.
Perlu beberapa saat untuk memikir kata-kata yang tepat. Jujur, aku tidak pernah suka meninggalkan tanggung jawab yang belum usai kepada orang lain. Itu bukan tipe ku. Sehancur apapun kondisinya. Sayang, lagi-lagi ini adalah pengecualian. Karena telah jelas, aku adalah anak dari kedua orang tua yang sejauh ini selalu bertanggung jawab terhadap kondisi apapun yang ku alami. Maka tidak laiklah ketika ku lepaskan tanggung jawab yang satu ini. Apapun kondisinya. Apapun resikonya.
Setelah pesan terkirim, aku yakin, dengan terpaksa mereka mengerti dan merelakan ketidakbisaan dan kelancangan ku mundur dari agenda ini. Tapi, aku juga tak kalah yakin, dengan penuh keikhlasan mereka seraya menyematkan doa-doa baik bagi kesembuhan kedua orang tua ku setelahnya.
Terima kasih.
Begitu kekacauan pelan-pelan ku tertibkan. Sial, aku lupa. Aku sangat membenci negara. Tapi ternyata setiap waktu aku menjadi negara bagi diri ku sendiri.
Dan kekacauan tidak pernah datang sekali saja. Membuatku menjadi negara terhadap diri ku. Beberapa hari setelah kembali ke Semarang, aku mencari-cari banyak hal, lebih tepatnya mencari penghibur dan hiburan. Sayang, ternyata kemanapun tempat diriku berlari, tidak pernah ada ruang untuk pelarian. Mungkin sesaat ada. Tapi setelah benar-benar disadari, itu hanya ilusi semata.
Bahkan sampai sekarang, meskipun hanya ilusi, aku masih sibuk mencari ilusi apalagi yang akan ku gunakan. Ilusi seperti apa yang pantas dijejaki tanpa mengandung unsur kasihan. Aku tidak suka dikasihani!
Padahal, kekacauan tidak pernah berdiam diri. Ia beranak pinak. Dan waktu adalah satuan vonis paling hakiki. Aku cukup tahu itu, aku cukup sadar. Tapi seperti ingin keluar sebentar. Sebentar saja.....
Biar sesekali aku tidak menjadi negara untuk diriku sendiri.

Semarang, 20 September 2018



“Berjumpa Masa Kecil, Aroma Kencing Ibu dan Letupan Tak Tertahan di Toilet.”



.......
Aku menggendong Ibu, seperti inikah dulu ia menggendongku?
Aku memapah Ibu ke kamar mandi, seperti inikah dulu ia memandikanku-menemaniku kencing-bahkan berak?
Aku harus sigap ketika Ibu tiba-tiba terbangun-kedinginan-lemas-terbatuk-atau kesakitan. Seperti inikah dulu rewelnya aku dalam segala kondisi?
Tidak.
Aku yakin tidak.
Tidak seenteng ini.
Tidak hanya sebatas ini.
Lebih. Ku yakin lebih berat. Tak terhitung. Tak mampu ditandingi. Tak bisa dibayar dengan perilaku yang hampir sama sekalipun.
Setidaknya, telah ku temui masa kecilku dengan Ibu
........

Obat Ibu banyak sekali. Cairan infusnya berwarna putih-lalu setengah hari kemudian diganti kuning. Sehari sekali, di lubang injeksinya, disuntikkan lagi beberapa zat lain supaya langsung mengalir ke pembuluh darahnya.
Setiap kali selesai menenggak beberapa pil dan mendapat suntikan itu, tak perlu menunggu lama, beberapa saat kemudian, reaksinya sudah terlihat.
Perut Ibu seperti dicuci-remas, katanya. Efeknya, ia seringkali ingin kencing dan berak.
Sementara, untuk tiduran saja ia membutuhkan selang oksigen.
Apalagi harus naik-turun dari ranjang setinggi itu. Harus jalan perlahan ke kamar mandi, dan mengulangi rutinitas itu berkali-kali.
Hampir tidak terhitung, dan sesekali Ibu terhuyung karena kelelahan.
Dan karena itu pula, aroma kamar mandi menjadi aroma khas kencing Ibu yang tak hanya pesing. Tetapi juga aroma semangat ibu lewat segala obat-obatan yang dicernanya dan meluruhkan segala penyakit demi kesembuhannya.
.......

Ini belum Tahun Baru, Hari Raya pun telah usai.
Tidak ada letupan yg patut untuk dinyalakan dan ditunggu-tunggu kehadirannya.
Begitupun dengan letupan yg satu ini. Yang entah sejak kapan berada disitu. Yang entah sejak kapan mulai membesar dan terus membesar.
Yang entah sejak kapan, mencoba untuk selalu ditekan dan terus ditekan.
Supaya tidak meletup sembarangan.
Yang entah sejak kapan, tempatnya tidak pernah pindah. Selalu ada di dada-kepala-dan bola mata.
Ia meletup. Meletup-letup keranjingan. Seperti dada-kepala-dan bola mata yang sudah sejak lama menanti gerakan kompak semacam kudeta.
Ia meletup. Dalam-dalam. Semakin dalam. Di kamar mandi. Di toilet. Bercampur dengan aroma kencing Ibu. Ikut serta mengunjungi masa kecilku.
.......

Pati, 6’9’18
Cepatlah sehat, Bu

Rabu, 21 Maret 2018

#1



 
“Kau pernah berpikir untuk bunuh diri?”

“Sering”

“Mengapa?”

“Entahlah, terlalu rumit. Sampai-sampai aku tak tahu harus bagaimana menjelaskannya”

“Lalu?”

“Tak terjadi apa-apa”

“Tak terjadi apa-apa? Tidak jadi bunuh diri?”

“Tidak”

“Mengapa?”

“Sama halnya dengan alasan ‘kenapa aku seringkali ingin bunuh diri.’ Pun ketika berusaha untuk mencobanya, entah mengapa menjadi lebih rumit. Sungguh hal itu pun terlampau susah untuk ku jelaskan”

“Takut?”

“Mungkin”

“Terhadap kematian?”

“Tidak sama sekali. Untuk apa manakuti sesuatu yang memang harus terjadi pula nantinya?”

“Lalu?”

“Mungkin, singkatnya...... karena aku adalah manusia”

Ia mengernyit, seolah tidak puas dengan jawabanku. Lalu dengan ragu ku lanjutkan. Karena tatapan matanya yang kian lekat, seperti memaksa kata-kata lanjutan lain sambil mengulang kembali jawabanku dengan panambahan tanda tanya di dalam kepalanya.

“Ya, kau tahu bukan jika manusia pada umumnya hadir bukan karena sekonyong-konyong ingin hadir. Namun dihadirkan. Lalu di tempatkan di sebuah ruangan sangat hangat yang disebut dengan rahim dan lahirlah kita semua. Ikatan-ikatan seperti itu yang susah dijelaskan. Dan ketika semakin bertumbuh, maka seseorang akan memiliki lebih banyak ikatan dengan manusia lainnya yang benar-benar rumit dan kompleks. Semakin banyak maka akan semakin kusut dan susah diurai. Bagiku, ikatan-ikatan itulah yang kadang kala bisa jadi memperkuat seseorang berada di dunia, atau justru sebaliknya. Menekan, mendesak, memeluk terlalu kuat sampai-sampai benar-benar dilenyapkan oleh kekuatannya. Semacam itu”

“Oh... Seberapa sering kau merasakannya?”

“Setiap hari. Aku rasa, mungkin semenjak jantungku pertama kali berdetak di dunia”

“Tapi buktinya, sekarang kau masih baik-baik saja. Duduk di sini. Menikmati segelas Green Tea Ice Blend dan dua potong Egg Bowl?”

“Ya, begitulah. Seperti yang telah ku katakan kepadamu, ikatan-ikatan itu terlampau rumit untuk diurai dan ditata. Maka segala hal tak mampu ditebak begitu saja. Tinggal bagaimana ketika hal itu terjadi, tiba-tiba saja Tuhan datang melalui ikatan-ikatan yang telah ku sebutkan tadi. Sebagai penyelamat. Mereka menyebutnya ‘Deus Ex Machina’ dalam beberapa contoh kasus karya sastra”

“Wow, lalu jika hal itu terjadi, apakah kau benar-benar menjadi lebih baik?”

Tanyanya lebih bersemangat. Mukanya berseri-seri dan matanya yang jernih membulat. Menampakkan betapa antusiasnya ia kali ini. Sambil merapatkan tubuh ke meja, gadis yang mungkin sebayaku itu, mengubah posisi tangan yang awalnya menopang dagu dengan kuat dan kini diletakknya kedua tangan itu bersedakap di atas meja. Punggungnya yang tadinya membungkuk, kini lebih tegak dan agak dicondongkan ke depan. Persis seperti gadis kecil yang menunggu lanjutan kisah dongeng dari guru Tknya.

“Tidak juga. Tidak sama sekali”

“Masih ingin bunuh diri?”

“Tentu”

“Mengapa?”

“Karena ternyata, para penyelamat itu bukan benar-benar penyelamat. Sesungguhnya, bagiku segala sesuatu yang datang tiba-tiba akan pergi dengan tiba-tiba pula. Begitupun mereka. Seperti seseorang yang mengajak kita kencan. Datang ke rumah, mengajak berjalan-jalan sebentar mengitari kota, menonton bioskop, ngobrol, makan es krim dan ketika malam mulai larut ia harus mengantarkan kita untuk kembali ke rumah. Ke tempat semula. Akan sangat berbeda jika hal itu dituliskan dalam kisah-kisah karya sastra misalnya. Disana mereka benar-benar bertindak sebagai penyelamat. Memberikan solusi seenaknya untuk menyelamatkan segala kekisruhan yang hadir dan habislah cerita”

“Mengapa begitu?”

“Ya... Karena pada kenyataannya mereka datang dari ikatan-ikatan itu. Ikatan yang akan terus berotasi mengitari kita. Persis seperti perputaran bulan mengelilingi bumi yang telah memiliki jalurnya sendiri. Akan seperti itu terus menerus. Sampai pada akhirnya nanti ia benar-benar tak punya kuasa untuk berputar atau ketika tak ada yang diputarinya lagi, barulah mereka berhenti”

“Hii..! Sungguh mengerikan. Aku yang hanya mendengarnya saja sudah ketakutan”

“Ya, memang”

“Ah, tapi tak apa. Setidaknya, ketika para penyelamat itu datang kau menjadi baikkan barang sebentarkan?”

“Mungkin kelihatannya seperti itu. Namun justru hal itu semakin memperburuk”

“Kenapa bisa?”

“Tentu saja! Jika kau lapar sementara kau hanya memiliki rokok dan tak ada uang sepeserpun di kantong celana saat itu, maka kau akan berhasil mengusirnya untuk beberapa saat saja. Setelahnya kau akan tetap merasakan lapar lagi, lagi dan lagi. Bahkan bagian terburuknya justru asam lambungmu naik lebih tinggi tanpa ampun”

“Rumit ya?”

“Seperti kataku diawal tadi”

“Berarti, kau tidak butuh penyelamat. Kau butuh seorang dokter. Em, maksudku seseorang yang benar-benar dokter”

Kali ini ku balas tatapan matanya sedikit lebih dalam. Dari bola mata itu, aku menangkap bahwa kalimat yang baru saja ia lontarkan bukanlah serangkaian tanggapan basa-basi. Seperti sebuah kepedulian atau bisa saja dianggap sebagai ungkapan kasihan. Tapi terlihat benar-benar tulus dan jujur.

Namun, hanya bertahan sekitar lima detik segera ku palingkan wajah ke arah jalan raya. Begitu banyak kendaraan lalu lalang. Motor, mobil, angkot yang seolah-olah ingin berkejaran dengan laju hujan. Teriakan tukang tambal ban yang menanyai penjaga toko kelontong sebelah lapaknya, suara knalpot motor rx-king yang terus menerus diderukan karena tiba-tiba mesinnya macet di jalan, serta semua bebunyian lain termasuk lagu ‘Havana’nya Camilia Cabello disusul beberapa lagu Banda Neira seperti ‘Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti’ serta suara-suara para pengunjung bercampur aduk menjadi sebuah dunia luar yang betul-betul dingin. Membuatku lebih memilih merasakan angin yang bertiup dari Utara menembus pori-pori kaos tipisku dan menyentuh kulitku bersamaan. Sementara, bau tanah basah tidak lagi tercium karena ini adalah hujan yang jatuh kesekian kali dan melunturkan bebauan khas itu tanpa sisa sedikitpun.

Ku tenggelamkan pandanganku lebih dalam. Bukan untuk mengamati hal-hal yang lain lagi. Tidak ada yang menarik satupun. Bahkan sebenarnya sedari tadi aku hanya melihat, tidak benar-benar berminat untuk mengamati apapun yang telah tertangkap oleh segala inderaku. Atau justru tak mampu menangkap lebih cermat. Seolah dihalangi oleh entah apa yang bergelombang dan menggema terus menerus sedari tadi. Menyamarkan segala yang ada disekitar. Dan sangat sedikit yang terserap lalu masuk ke otakku untuk dideskripsikan. Sisanya, hanyalah pandangan kosong yang dipenuhi oleh gelombang tanpa ujung pangkal, menari-nari riang namun dengan ekspresi yang menakutkan. Sekuat apapun ku coba menenggelamkan pandangan, justru semakin kuat pula aku tenggelam oleh gelombang yang entah sejak kapan berada di situ.

“Mohon maaf Kak, apa mau memesan lagi?”

Seorang waitress tiba-tiba mendatangi mejaku. Aku yang tersadar namun tidak sepenuhnya terkejut akan kehadirannya, spontan menjawab, Tidak. Lalu ia tersenyum kecil dan nampak sedikit enggan menjauh namun pada akhirnya pergi juga dengan langkah agak malas.

Setelah melepaskan padangan dari waitress yang kini punggungnya benar-benar ditelan oleh lekukan dinding pemisah ruangan cafe, aku baru tersadar. Bahwa seorang gadis yang tadinya dihadapanku, yang ku kira mungkin ia sebaya denganku itu juga menghilang. Cukup mengejutkan. Tapi tak lantas membuatku gusar untuk mencari. Karena hal seperti itu sudah sering terjadi. Saking seringnya, sampai-sampai menjadi biasa saja. Hanya meski biasa terjadi, disuatu waktu aku merasa tidak enak hati. Kalau-kalau mereka yang selama ini datang-pergi-kembali lagi-dan atau benar-benar pergi adalah dikarenakan oleh sikapku? Sikapku yang seketika tidak membuat nyaman mereka ketika berada di dekatku. Seperti seolah-olah merasa diabaikan. Persis seperti sekarang ini. Ah, sungguh, aku benar-benar tidak enak hati jika memang benar seperti itu adanya. Aku sama sekali tidak menyukainya. Ya, aku tidak suka membuat seseorang kecewa karena sikapku. Oleh karenanya, sampai sekarang aku masih terus berusaha untuk menjaga hati orang lain. Tidak ingin membuat siapapun kecewa. Namun, jangan salah paham. Meskipun begitu, bukan berarti aku adalah seorang gadis yang paling baik hati sedunia. Bukan. Karena sesungguhnya pekerjaan untuk menjaga hati orang lain adalah pekerjaan yang berat dan memuakkan. Bayangkan saja, menjelma menjadi seseorang yang memiliki hati bak malaikat dan selalu mengusahakan pertolongan kepada orang lain tanpa membuatnya kecewa. Bagaimana bisa? Bukankah orang bukanlah Tuhan? Jika dipikir-pikir aku sendiri sering merasa jijik dan kesal setiap kali mengingat untuk menawarkan atau sengaja dimintai tolong terhadap segala sesuatu padahal sebenarnya diri sendiri butuh bantuan. Dan entah mengapa terlalu sering aku meng’iya’kan. Atau ketika harus bersikap seperti gadis manis dengan air muka yang bersemangat ketika terlibat di sebuah perbincangan yang sebenarnya tidak ingin diikuti sama sekali. Entah apapun alasannya. Tidak bisa mengikuti-tidak cocok dengan pembahasan-tidak sepakat dengan opini dari pembahas lainnya atau alasan lain. Tapi toh ujung-ujungnya bertahan dengan tatapan mata konstan ke arah lawan bicara supaya tidak dianggap menyepelekan dengan sedikit bumbu senyuman kecil sepanjang perbincangan. Ah, benar-benar memuakkan!. Namun anehnya tak pernah bisa untuk tidak melakukan hal itu. Entahlah, begitu banyak kerumitan yang saling tumpang tindih dan saling terhubung.

Dan efeknya membuatku sering kali ingin sendirian. Benar-benar sendiri. Tanpa diganggu oleh siapapun, tanpa ditemani oleh siapapun. Berpikir tentang diri sendiri, mengerjakan apapun yang ku suka, menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan diri sendiri pula. Tidak ada tentang tubuh lain, tidak ada tentang senyuman atau tangisan untuk tubuh lain, tidak ada kepedulian yang pantas dicurahkan kepada tubuh lain. Kalaupun ada, maka yang ku ijinkan adalah perhatian semata tentang diriku. Hanya aku. Seperti halnya gadis bermata indah tadi. Yang kedatangannya entah dari kapan, akupun tidak sadar betul. Dan kepergiannya yang juga tanpa ku sadari. Bahkan aku juga lupa perbincangan kami dibuka dengan pembahasan macam apa, sampai pada akhirnya membicarakan tentang keinginanku untuk bunuh diri. Yang ku ingat, aku telah duduk berjam-jam dari sebelum matahari benar-benar tenggelam di meja cafe nomor 12 sampai hujan menelan separuh malam. Seorang diri.

Senin, 16 Oktober 2017

Bapak....!

“Sudahlah! Jangan merengek seperti itu! Biarkan aku pergi! Aku sudah tidak tahan lagi.”
Bentak lelaki itu. Menghempaskan remasan tangan sang istri yang memegang erat kaki kirinya. Ia pergi. Menyisakan jejak sepatu tak penuh, berlumur tanah merah dari pekarangan rumah. Sementara sang istri masih sesenggukan. Dadanya sesak. Tubuhnya bergetar kencang. Keringatnya mengucur bagai keran. Sampai-sampai daster tidur berbahan katun selutut yang ia kenakan, tak sanggup berkibar meski angin menyerangnya bertubi-tubi.
Ia meringkuk di lantai dengan lesu.  Tak sanggup membuka mata. Baginya, membuka mata sama saja mengantarkan kepergian suami dengan rela. Padahal, sampai malam ini, detik ini, ia masih tak kuasa memikul malam dengan kesendirian. Apalagi untuk malam-malam yang akan datang. Sama sekali belum terbayangkan. Begitu pula denganku.
Saat itu aku hanya berdiam diri di kamar. Persis seperti malam-malam sebelumnya, ketika bapak dan ibu mulai suka beradu mulut. Sesekali terdengar suara teriakan. Saling tuduh. Saling menyalahkan. Sesekali terdengar seperti suara tamparan. Dan ujung-ujungnya suara tangis ibu pecah. Sedikit ditahan. Lalu bapak keluar kamar membanting pintu. Pergi.
Dulu, jauh sebelum kami memutuskan pindah ke kota ini, bapak dan ibu adalah pasangan paling romantis yang pernah aku temui. Maklum, pernikahan mereka bukan pernikahan ala Siti Nurbaya. Meskipun kami dari desa dan simbah adalah mak comblang yang dipercaya oleh keluarga-keluarga ningrat perihal bab perjodohan. Ia tak pernah melarang anaknya untuk dekat dengan siapapun. Mencoba menjodohkannya dengan pegawai negeri, atau anak saudagar beras di desanya. Sama sekali tidak. Ia memberikan kebebasan bagi putri semata wayangnya itu untuk membukakan hati kepada siapapun yang ia cintai. Ia akan menerima. Bahkan ketika bapak datang ke rumah bersama kedua orang tuanya.
“Sebelumnya saya meminta maaf kepada Bapak. Dengan lancang tiba-tiba saya datang kemari bersama kedua orang tua. Meskipun saya tahu, Dik Rahayu adalah kembang desa yang telah banyak diincar oleh para pria terhormat dan mapan, tidak seperti saya ini. Yang hanya bermodalkan ijasah kuliah, dan harapan segera mendapatkan pekerjaan. Namun, kali ini saya memberanikan diri untuk meminta izin kepada Bapak, melamar Dik Rahayu demi mewujudkan kebahagiaan kami semasa kuliah dulu. Ini adalah salah satu angan-angan yang sudah bertahun-tahun lamanya kami bangun. Ya sebelum akhirnya kembali ke kota masing-masing selepas lulus.” Ucapnya tanpa bergetar sedikitpun.
Kala itu di mata simbah, sikap ‘ lelaki’ Bapak yang berani, tegas dan bernada sungguh-sungguh ternyata berhasil mencuri simpatinya. Mengizinkan putrinya dipersunting oleh lelaki dari keluarga pas-pas an. Yang dengan konyol datang ke rumah, melamar purtinya. Berbekal niat dan selembar ijasah kuliah. Begitulah kenang simbah berulang kali sambil tertawa. Cerita yang selalu ku dengar, ketika tubuhku masih cukup meringkuk dipangkuannya. Aku senang sekali mendengarkan cerita itu. Apalagi ketika si mbah dengan suara paraunya mencoba mempraktekkan gaya Bapak sekaligus gayanya sendiri yang terus menatap tajam mata bapak, guna menguji keberaniannya. Lantas membuatku berimajinasi. Membayangkan betapa Bapak adalah lelaki yang gagah berani. Benar-benar ‘ seorang lelaki.’
Setahun setelah kepergiaan simbah - waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP- kami memutuskan untuk pindah ke kota. Kabarnya, bapak diterima menjadi wartawan di salah satu surat kabar ternama di sana. Demi mempermudah perkerjaan dan menjaga keutuhan rumah tangga, bapak memboyong kami berdua. Awalnya kami menyewa sepetak rumah kontrak dengan dua kamar kecil, ruang tamu sekaligus ruang tv dan dapur mungil di sebelah kamar mandi.
Bulan-bulan awal terlewat dengan baik. Dengan cepat kami mampu menyesuaikan diri. Maklum, komplek perumahan ini didominasi oleh warga rantau seperti kami. Dari Solo, Jogja, Purwodadi, Demak, Kudus dan sisanya ada yang dari Malang bahkan Jakarta. Sesekali ketika bapak tak pergi meliput, ia bercengkrama bersama para tetangga yang berkumpul di pos ronda. Bermain remi, karambol atau catur. Dan setiap pagi hari, ku dapati ibu berkumpul dengan ibu-ibu lainnya yang mengerumini tukang sayur di dekat rumah. Sambil bergosip. Setiap minggu pagi kami berbaris di depan rumah dan memulai senam sehat. Dilanjutkan dengan kerja bhakti dan ngobrol santai. Serta yang paling aku suka, setiap malam, sebelum tidur, kami bertiga berkumpul di ruang tv, melihat beberapa tayangan dan membahas apa saja sampai lelah. Begitu berjalan selama hampir dua tahun lamanya.
“Besok kita akan pindah,” celetuk Bapak waktu itu.
“Ke mana?,” tanyaku. Menoleh ke arah bapak yang masih sibuk memencet layar hp di atas sofa.
“Ke rumah baru,” sahut ibu keluar dari dapur. Menurunkan piring berisi pisang goreng dan duduk di samping bapak.
“Rumah baru?,”
“Iya, rumah baru. Yang lebih besar dari ini dan lebih dekat dengan pusat kota,” tambah ibu tersenyum bahagia.
“Bapak beli rumah?,” tanyaku meyakinkan. Menyita perhatian bapak sesaat, lalu ia menurunkan kaca mata dan mengangguk.
Benar, karir bapak sedang menanjak. Berkat kegigihannya, dua bulan yang lalu ia mendapatkan promosi. Jabatannya naik. Kini ia sah menjadi pimpinan redaksi. Dengan gaji yang yang lebih tinggi, bapak memutuskan untuk membeli rumah di pusat kota. Ya, meskipun masih dalam tahap cicilan. Tapi bulan selanjutnya kami mampu membeli mobil baru, mesin cuci yang lebih canggih dan beberapa perabot rumah tangga yang lebih modern. Bahkan aku sendiri dihadiahi sebuah iphone keluaran terbaru.
Ibu sering kali keluar rumah untuk hangout bersama teman-teman sosialitanya. Ia memang tidak bekerja sampai sekarang, namun nama bapak saja sudah cukup. Cukup untuk membawanya bergabung dengan ibu-ibu necis istri dari para pejabat kota.
Hari senin, ibu ada arisan dengan grup A. Hari selasa sore pergi bersama teman-teman Zumba-nya. Hari rabu adalah jadwal yoga. Kamis, jumat, sabtu... dan kalaupun bertemu, kami hanya bertegur sapa seadanya.
“Oh iya, jangan lupa kalau nanti Adik keluar, pintunya dikunci. Hari ini ibu tidak masak. Bapak juga akan pulang telat. Katanya ada rapat. Nanti Adik makan diluar saja.”
“Dan satu lagi, tadi siang bapak sudah transferkan? Nanti ibu kabari lagi kalau acara ibu sudah selesai.”
Lantas, ia bergegas pergi terburu-buru.
Memang, awalnya aku senang dengan ibu yang tampak semakin bahagia. Dengan bapak yang memiliki karir cemerlang. Beberapa kali bahkan ia dijadikan narasumber acara-acara kepenulisan di kampus-kampus, juga kampusku. Namanya melambung. Apalagi semenjak ia berhasil menerbitkan beberapa buku fiksi-pop yang laris manis di pasaran. Semenjak itu, tak perlu ditanyakan. Pundi-pundi keluarga kami terkumpul dengan fantastis. Kunjungan-kunjungan sosial yang dilakukan oleh ibu dan bapak juga sering menjadi sorotan media. Seperti mengunjungi pasien kanker, ke rumah yatim piatu, korban bencana alam, menjadi pembicara diskusi budaya dan yang lainnya. Semua kebutuhan tercukupi. Bahkan lebih. Apapun yang ku inginkan juga dengan cepat dikabulkan. Namun, semenjak itu pula tak hanya ibu yang jarang pulang. Bapak pun juga. Ia lebih sering mengirim kabar mendadak seperti,
Dik, hari ini bapak tidak bisa pulang. Ada pertemuan mendadak. Nanti tolong kabarin ibu ya. Daritadi bapak telpon nomornya nggak aktif. Kamu jaga rumah, kalau keluar pintu dikunci.”
Atau
Dik, tadi bapak sudah transfer jatah bulananmu. Sekalian buat bayar les musiknya. Dan satu lagi, bapak minta maaf, minggu ini sepertinya rencana buat jalan-jalan di pending dulu. Bapak ada urusan mendadak. Tadi ibu juga sudah bapak kasih tahu.”
Dan yang lain-lainnya.
Berbulan-bulan, bertahun-tahun, sampai akhirnya kami menjumpai malam itu...
Aku masih menunggu jemputan ketika ibu baru saja keluar.
Selang beberapa menit Vigo datang. Aku masuk ke dalam mobilnya. Seperti biasa di bangku belakang sudah ada Rey dan Dion. Aku mengenal mereka beberapa bulan yang lalu melalui situs pertemanan onlen. Nongkrong, makan, sampai akhirnya sering keluar bersama.
“Mau makan dulu nggak?,” tanya Vigo.
“Nggak usah. Nanti aja di sana.” Jawabku.
“Tau tuh si Vigo. Biasanya juga sudah sepaket sama room-nya,” tambah Dion.
“Sehat kan Han?,” tanya Rey kepadaku.
“Ya tentu saja.”
 “Syukurlah. Kalau malam minggu seperti ini, biasanya bakalan rame. Jangan kecapekan dulu sebelum berperang,” canda Rey. Kami tertawa bersama.
Malam ini langit tak bersahabat. Gerimis datang dan sesekali hujan mengguyur permukaan jalan. Atap-atap rumah, kursi taman, pohon-pohon dan tanah. Bahkan sejak sore tadi. Kilat datang menyambar, guntur bersahut-sahutan, lalu cakrawala berubah menjadi muram.
Kami berempat berlarian kecil sekeluarnya dari mobil. Masuk ke room karaoke menuju ke ruang ganti. Ku buka isi tas yang ku bawa dari rumah. Sebuah dress mungil berwarna merah marun, sepaket alat make-up dan sepatu hak tinggi penuh permata yang berkilat-kilat. Setelah berganti pakaian, ku pandangi wajahku di cermin. Lantas membersihkannya sebentar. Mengoleskan pelembab, foundation, concealer, bedak tabur beraroma melati, bedak padat. Lalu membentuk alis, memakai eyeshadow, menambahkan sedikit blush on, memakai eyeliner, maskara, menempelkan bulu mata palsu, dan tak lupa lipstik merah menyala.
Room 21 ya!,” ucap operator yang mendatangiku. Aku pun berjalan keluar. Sedikit mendongak, sembari merapikan dandanan. Sesekali ku semprotkan minyak wangi supaya aroma cherry yang lembut dapat menyatu dengan tubuhku.
“ Silakan...” ucap seorang operator lain membukakan pintu seraya tersenyum.
Seperti biasanya, seperti malam-malam sebelumnya beberapa bulan terakhir. Room karaoke selalu sesak oleh musik-musik dengan volume tinggi, suara-suara sumbang yang dipaksakan, asap-asap rokok, bau alkohol, serta keringat-keringat tubuh-tubuh penuh napsu. Aku duduk merapat di antara tubuh-tubuh gempal Om-Om berkemeja itu. Sesekali mereka memandangku dan mencoba mengajakku menari bersama irama malam. Memeluk, menyodorkan minuman, dan menggosok-gosokkan pipinya ke pipiku. Satu per satu dari mereka mulai mencicipiku. Tak terkecuali seorang terakhir yang tampaknya telah tenggelam di dada seorang PL lain di sudut tempat duduk. Matanya sudah layu. Badannya sentoyongan mencoba berdiri meraihku yang masih melantunkan lagu. Dipangkunya tubuhku. Dihembuskannya napas di sela-sela telinga dan rambutku. Wajahnya semakin mendekat.  Kini kulit-kulit pipinya menekan bibirku. Memaksaku untuk sedikit menoleh. Menghampiri bibirnya. Tapi tunggu, aku menahan gerakanku. Memperhatikannya lebih cermat. Semakin cermat.....
“ Bapak!.”
Aku tersentak, mundur dan terjatuh ke lantai. Begitu pula dengannya. Bergegas menyalakan lampu dan mendekatiku. Dengan mata semerah darah dan dahi yang berkerut, ia menatapku tajam. Seolah-olah memastikan apakah ia benar-benar mengenali diriku.
“ Gila! Apa-apaan kau ini! “
Plak!’ Bapak menamparku.
“ Mau jadi apa kau ini! He?,” Bapak menyeretku keluar setelah berkali-kali menampar pipiku dan mengumpat dengan kasar. Merobek bajuku, menjambak dan akhirnya membawaku pulang
Semenjak saat itu, Ibu dan bapak sering cekcok. Saling menyalahkan. Apalagi berita tentang keluarga kami begitu cepat menyebar, membuat kami menjadi sorotan banyak orang. Dimanapun, kapanpun, siapapun di seluruh sudut kota ini tak ada satu pun yang absen membicarakannya. Secara blak-blak an, bisik-bisik atau sekasar umpatan di media sosial. Di kafe-kafe, rumah makan, kantor, pasar, sekolahan, bahkan juga mereka yang dengan sengaja lewat di depan rumah kami sambil bergunjing,
Gila ya, orang tua yang kelihatannya hebat saja nggak bisa mendidik anak. Menjadi PL saja udah nggak bener. Apalagi ditambah berdandan layaknya wanita. Mau jadi apa dia?. Edan edan... bener-bener edan! Amit-amit jabang bayi!.”






Tembalang, 16 September 2017

Minggu, 15 Oktober 2017

Namanya Rico...

Aku masih duduk memandangi jendela bus saat sebuah pesan singkat nongol di layar hp.
“Sampai mana?,” sebuah teks yang ku tunggu-tunggu.
“Sebentar lagi sampai,” balasku.
Tepat pukul 01.00, bus jurusan Jogja-Solo yang ku naiki tak pula memelankan laju. Padahal jalanan tampak mengkilat karena hujan tak kunjung reda. Aku tidak tahu seberapa cepat si sopir menekan pedal gas, atau bahkan tak peduli. Yang ku tahu, aku akan segera menjumpai seseorang yang telah menunggu sedari hari belum berganti, di terminal malam ini. Meskipun beberapa kali tubuhku sempat terguncang dan bergeser sedikit karena polah sopir yang seperti kesetanan mengejar setoran.
Jujur saja, ini bukan pertama kalinya ku beranikan diri menginjakkan kaki di kota orang. Namun, ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di kota orang, malam-malam, didorong oleh rasa penasaran bercampur dengan bahagia. Untuk bertemu. Bertemu seseorang yang selama ini telah menjadikan hari-hariku bertabur bunga-bunga dengan wangi yang semerbak. Lebih wangi dibandingkan kembang setaman yang sering dibeli simbah untuk nyekar ketika malam jumat tiba.
Aku memang baru saja mengenalnya. Sekitar empat bulan yang lalu. Kami bertemu disalah satu situs pertemanan online yang sedang ramai-ramainya di dunia maya. Facebook. Maka jangan heran, meski diriku sejak kecil hingga kuliah berada di Jogja, dan sama sekali belum pernah mengunjungi kota tujuanku saat ini, aku merasa telah mengenalnya dengan baik. Bahkan pertemanan kami yang tak disengaja itu, membuatku benar-benar melakukan hal yang konyol seperti sekarang.
Hampir setiap hari ia mengomentari status yang ku bagikan. Membalas beberapa sajak yang ku tulis dengan soliloque-nya, menyukai positnganku sampai tak jarang membagikan kiriman yang ku tulis pula. Ya, hampir setiap hari. Mulanya aku tidak peduli. Ku pikir ia adalah satu dari ribuan orang kurang kerjaan yang menanggapi hasil pemikiran kurang kerjaanku pula. Tapi lama-lama kami sering berdiskusi. Saling mengirimkan inbox, berbagi informasi dan literasi, lalu membuat prosa bersambung. Lebih lanjut, akhirnya kami bertukar nomor WhatsApp. Di sana kami bisa berkomunikasi lebih lancar. Melanjutkan obrolan tentang Liberalisme, Feminis, Post Modern, hingga omong kosong lainnya. Lama-lama setiap pagi ia memberanikan diri untuk menyapa. Seperti, ‘ Selamat pagi Puan... Ayo bangun! Keburu mataharinya ngambek loh!’ atau ‘ Sudah makankah?’ ‘ Jangan lupa minum air putih!’ ‘ Jangan tidur terlalu malam. Jaga kesehatan.’ Dan yang lainnya. Berangsur-angsur menjadi sebuah rutinitas. Seperti ia adalah bagian dari aku, dan aku adalah bagian darinya. Semacam proses berbagi. Sampai pada proses bernegosiasi tiap kali masing-masing dari kami harus mengambil keputusan terhadap segala sesuatu. Dan sekarang, kami benar-benar akan bertemu......
“Terminal-terminal......,” teriak kenek bus. Sambil sedikit menoleh kebelakang dan berdiri, bersiap membukakan pintu dengan buru-buru.
Begitupun aku yang sesegera mungkin bangkit. Menata posisi tas ransel sebentar, lalu segera maju merapat ke pintu.
Gerimis masih meracau ketika diriku menepi di antara beberapa orang yang tengah duduk-duduk, tertidur, atau berlarian kecil berusaha menyelamatkan dirinya dari basah di sekitar ruang tunggu terminal. Aku duduk. Sesekali mengecek hp dan mencari-cari wajah yang potonya beberapa kali sengaja ku simpan untuk ku ingat-ingat.
“Aku sudah sampai. Kau dimana?,” ketikku singkat.
Sambil sesekali merapikan rambut yang lepek tak karuan, ku lepaskan ransel supaya duduk lebih nyaman. Ku tengok lagi ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari tubuh seseorang yang mungkin sedang berjalan menuju ke arahku. Memakai jas hujankah? Payung? Atau tubuh basah kuyup seperti beberapa orang yang hilir mudik menjemput orang lain tadi?
Ku cek kembali hpku. Terkirim. Tapi belum dibaca. Apa kelamaan? Atau dia ketiduran?
Ku pandangi kembali sekeliling. Beberapa tubuh yang tergeletak lesu dengan suara ngorok yang tak kalah kencang dibanding hujan ialah orang-orang terminal seperti, penjual koran, pengemis, dan beberapa yang aku tak tahu memiliki pofesi apa. Yang jelas, ku pikir tidak ada diantara salah satu dari mereka.
“Nunggu orang Mbak?,” sapa seorang lelaki muda yang mungkin seumuranku itu.
“Iya,” jawabku pelan sambil memperhatikannya. Dari gayanya, ku pikir dia juga mahasiswa seperti diriku. Ya, gaya mahasiswa pada umumnya. Kemeja flanel yang dipadukan dengan kaos combed bergambar Jimmy Hendrick, celana jeans denim, serta sepatu sneakers tua berwarna coklat kusam. Pas sekali dengan rambut ikal yang dikuncir sebahu. Wajah berbulu dan berkumis tipis itu, serta alis yang tegas melindungi sorot matanya yang teduh. Membuat dirinya lebih ‘ terlihat’  dibanding penghuni terminal lain malam ini.
Oh astaga! Jangan-jangan dia orangnya!. Pikirku girang sambil menata rambut dan merapikan duduk. Gugup.
“Masnya juga?,” tanyaku, ia tersenyum kecil dan mengangguk. Lagi-lagi membiarkanku semakin penasaran dan salah tingkah.
“Masnya daritadi disini?.”
“Iya..” jawabnya lagi dengan sedikit diseret, seperti jawaban yang menerka-nerka.
Kenapa daritadi aku tidak sadar? Tapi kenapa dia diam saja?
Kembali ku atur posisi duduk. Sedikit menghela nafas, dan menenangkan kaki yang tak pernah bisa terdiam jika terlalu gugup seperti sekarang.
“Masnya.. nunggu siapa?.” Ia menoleh ke arahku, sedikit mengerutkan dahi. Kali ini sorot matanya tak seramah sebelumnya. Persis seperti induk macan yang sedang diganggu anak-anaknya. Benar-benar membuatku tak enak hati.
“Em.. maksud saya, masnya lagi nunggu temen ya?,” tambahku ragu-ragu.
“Iya.. “
“Perempuan?”
“Iya....”
“Rico ya? Hai, aku Andini!.” Kataku bersemangat.
Lelaki muda itu semakin diam dan menatapku curiga.
“Bukan...” katanya, lantas berdiri dan bergegas menjauh. Tanpa sedikit pun menoleh kembali ke arahku.
Ah, bukan... pikirku kecewa, seraya melihat punggungnya menghilang dari balik belokan ruko-ruko terminal yang telah tutup.
Sekarang aku kembali sendirian. Bersama beberapa pasang mata yang ternyata sedari tadi memperhatikanku tajam. Membuatku tersudut. Seperti rusa di tengah sabana. Dan mata-mata itu adalah milik macan tutul yang siap menerkamku sebagai makan malamnya. Benar-benar merasa terancam. Ku rapatkan tubuh memeluk ransel. Sementara orang-orang satu persatu pergi bersama jemputannya. Ku cek hp beberapa kali. Belum ada balasan.
Astaga, konyol sekali diriku! Seharusnya aku tak sesembrono ini. Ah, sial!
Hampir satu jam. Mataku mulai mengantuk. Tapi aku tak ingin tidur. Tubuhku telah lelah. Tapi aku tak lantas boleh menyerah. Bukan, bukan sekarang. Memang ini kota orang, tapi aku masih punya Tuhan. Sambil masih terus berdoa dengan cemas, aku menunduk menghindari tatapan-tatapan kasar sekitar. Yang membuatku semakin seperti onggokan daging siap santap. Serta merawat kekecewaan yang hampir membuahkan air di kedua sudut mata. Tapi tak bisa. Ini belum berakhir. Pikirku penuh harap.
“Dimana sekarang? Maaf, tadi hpku mati.” Sebuah pesan masuk menyelamatkanku dari situasi.
“Terminal. Kau dimana? Katamu kau sudah disini sebelum aku datang? Aku sendirian. Dari satu jam yang lalu.”
“Maaf. Benar tadi aku sudah disana, tapi tiba-tiba aku ada urusan. Oh ya, sekarang aku tidak bisa menjemputmu. Motorku sedang dipakai temanku. Bisakah kau ke tempatku saja? Ku share loc ya. Aku tunggu di sini.”
Tanpa berlama-lama, ia mengirim lokasi dimana ia berada.
Ah, kenapa tidak dari tadi? Pikirku jengkel. Lantas berjalan keluar memesan taksi.
Kurang dari 15 menit aku sampai di depan sebuah kedai kopi. Ku langkahkan kaki setelah membayar sejumlah uang kepada supir taksi, tanpa sedikitpun merapikan kemeja, atau memperdulikan rambut yang terkoyak angin bercampur air hujan. Aku sudah teramat lelah. Ku pilih tempat duduk di sudut depan kedai. Memesan secangkir kopi Arabica panas. Menyruputnya, membakar sebatang rokok, dan menggosok-gosokkan tangan sesekali. Supaya lebih hangat. Kali ini, tak ada lagi hasrat untuk mengawali mengabarinya.
Biar dia saja yang mencariku. Gantian dong! Pikirku masih jengkel.
“Sudah sampai?.”
“Sudah.” Balasku singkat.
Tak berapa lama...
“Hai!” sapa seorang wanita muda bertubuh putih tinggi semampai.Wajahnya halus tanpa jerawat. Berwarna putih kemerahan seperti pantat bayi. Cantik.
“Halo..” balasku. Kami bersalaman sebentar. Tangannya halus seperti tidak pernah bergesekkan dengan benda kasar sedikitpun. Ia tersenyum. Gigi-giginya berbehel rapi. Namun tetap terlihat putih-putih dan bersih. Ketika ia duduk persis di hadapanku, aroma parfumnya menyeruak. Wangi sekali. Tapi aku masih tidak tahu ia siapa.
“Cari Riko ya?,” tanyanya lagi sembari menyopot jaket. Akupun mengangguk.  
“Sudah lama?.”
“Lumayan...”
“ Maaf ya sudah membuatmu menunggu.” Katanya nyerocos masih sibuk menyopot anting dan mencoba memanggil waitress untuk memesan kopi.
Sementara aku masih menerka-nerka dan semakin bingung.
“Em.. maaf? Kalau boleh tahu Anda siapa ya? Adiknya? Kakaknya? Temannya? Atau... Pacarnya? ,” tanyaku benar-benar ingin tahu.
Ia tersenyum. Membakar rokok, menyopot wig. Sedikit menyondongkan badan ke depan, lalu menatapku tajam.
“Aku Rico!.”


Tembalang, 16 September 2017